Selasa, 10 Maret 2009

EFEKTIFITAS IKLAN PARTAI DALAM PEMILU 2009 PADA MEDIA MASA

EFEKTIFITAS IKLAN PARTAI DALAM PEMILU 2009
PADA MEDIA MASA

1. Pendahuluan.
Tidak ada kecap nomor dua, itu kata pepatah. Itulah yang bisa dikatakan pada partai bahwa semua kecap nomor satu, artinya partai-partai berjanji-janji pada rakyat andai menang, pilihlah saya, besok lebih baik, atau mbah saya sudah bikin kemajuan, sekarang sedang mengalami kemunduran, dan sebagainya. Partai-partai berlomba-lomba mengiklankan atribut partai dan program partai dengan berbagai macam cara dan gaya bahasa.
Banyaknya partai ibarat cendawan di musim hujan menjadikan partai berlomba-lomba untuk melakukan kampanye di berbagai daerah baik perkotaan sampai perdesaan di seluruh penjuru tanah air. Kampanye dilakukan melalui berbagai macam cara dan gaya. Baik melalui ikaln baliho, Koran, majalah, radio, televise bahkan Internet.
Persoalannya berbagai iklan yang dilakukan oleh partai akan efektif dan efisien menarik masa untuk memilih partai tersebut. Karena mengiklankan partai tidak sama dengan mengiklankan produk tertentu. Karena produk yang ditawarkan adalah berbeda, dimana dalam iklan dikenal promotions mix, sedang dalam iklan partai juga memiliki peran marketing mix, meski dengan produk yang berbeda.
Iklan dapat berupa iklan merek dagang dan jasa, sedangkan partai ini susah untuk dikatagorikan dalam dua katagori tersebut. Apakah produk barang atau jasa, jadi susah untuk dikatgorikan pada keduanya. Sedangkan iklan partai adalah iklan yang menawarkan jati diri atau performance, Atribut, symbol atau bendera, serta program atau janji. Sedangkan bukti bahwa partai itu bisa mempertahankan semuanya setelah melewati beberapa katagori diatas, apakah iklan partai memenuhi produk yang mereka tawarkan.
Persaingan dalam pemilu 2009 oleh partai-partai baik partai baru atau partai yang sudah cukup lama cukup ketat, dengan munculnya beberapa partai baru yang lahir, dan berusaha untuk eksis dan bertahan merebut pemilih. Suatu perkembangan teknologi periklanan di Indonesia yang cukup pesat tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah revolusi besar di bidang komunikasi, dan semakin cepatlah informasi kepartaian dapat disampaikan secara lengsung kepada pemilih tanpa melakukan penggalangan massa dan mobilisasi masa.
Munculnya persaingan itu telah melahirkan berbagai macam persaingan yang sehat maupun tidak sehat. Perang propaganda terus terjadi, saling mengklain jasa pada masyarakat, mengumbar janji dan menyerang partai lain, bahkan oleh partai yang baru sekalipun karena mempunyai sejarah di masa lalu, pada pemerintahan lama dengan partai lama yang justru sekarang menjadi pesaing-pesaingnya. Diikuti inovasi-inovasi tentang bahasa-bahasa komunikasi massa bagi pemilih baik pemilih mengambang, pemilih pemula atau tradisional. Pemilih akan banyak mendapatkan pilihan, dan saatnyalah bahwa pemilih atau rakyat adalah raja. Sehingga partai-partai saat ini harus memanjakan pemilih agar tidak ditinggalkan pemilihnya untuk memilih kompetitor lainnya. Karena makin banyak partai, alternatif layanan yang akan diberikan pada partainya makin beragam.
Bagaimana untuk menjadi iklan partai yang tidak hanya menjadi iklan kecap nomor satu tidaklah mudah, karena iklan yang membohongi dengan janji-janji kosong akan mengurangi kepercayaan pemilih. Pemilih akan terus mencari alternative baru bagi kehidupan negara sebagi aktualisasi dari kepentingan individual mereka dan kepentingan kelompok dengan kedekatan emosional, ideology dan kepentingan.
Iklan Partai dikenal sejak periode pasca Orde baru atau yang disebut periode reformasi. Dimana pintu multi partai telah dibuka pemerintah. Berjuta-juta orang memulih di dalam pemilu 1999 dengan berpuluh-puluh part (48) dalam menentukan harapan perubahan yang mereka miliki. Meskipun penggalangan masa masih dominant dalan pemilu 1999 namun iklan partai mulai dikenal oleh beberapa partai. Meskipun peran iklan jurnalistik melalui media masa cetak maupun elektronik cukup dominant.
Mereka mampu membangun asosiasi partai yang cukup efektif seperti PDI Perjuangan dengan Ingat-Ingat, kemudian Golkar dengan Golkar baru, dan PKB dengan membela yang benar, dan partai-partai yang berbasis sejarah cukup kuat dan berbasis tradisional dan ideologis sejenis banyak merebut hati pemilih. Sehingga peran iklan belumlah dominan pada saat itu.
Peran iklan partai lebih efektif lagi pada pemilu 2004 dengan mendongkrak partai Demokrat dengan mengantarkan presidennya pada pemilihan presiden 2004. Dimana mulai terjadi peradigmabaru kampanye pemilu dengan penggalangan masa dengan merubah komunikasi masa dengan peran iklan partai.
Meski iklan tidak selamanya efektif seperti iklan yang terlalu gencar pada pemiliha gubernur di Jawa Tengah justru menglami kekalahan, karena pemilih tiap daerah memiliki berbagai spesifikasi khusus dalam menentukan pilihan dan melakukan persepsi pada iklan partai.

2.1 Definisi model SOSTAC dalam Iklan Partai.
Karena sudah melakukan berbagai media yang berupa iklan maka partai tidak bisa lepas dari peran iklan dalamkaidah ilmu komunikasi, ekonomi, politik dan hukum. Partai sudah bicara iklan maka akan menerapkan peran teori-teori ekonomi dan Komunikasi seperti SOSTEC misalnya.
SOSTAC adalah singkatan atau ringkasan tahapan-tahapan proses strategi pemasaran oleh Paul R. Smith (1990). SOSTAC terdiri dari :
1.Situation Analysis. (Analisis Situasi) yang mana terdiri dari SWOT Analysis, PEST Analysis, Marketing Mix(bauran kebijakan) dan Competitive Position (posisi persaingan).
2.Objectives. (obyektif) Kemana kita akan pergi (Where do we want to go)? Terdiri dari : Ashridge Mission Model, 5 P’s Model, SMART.
3.Strategy(strategi). Bagiamana kita mendapatkanya (How are we going to get there)? Terdiri dari : Market Segmentation (sekmentasi pasar) dan Positioning.
4.Tactics (taktik). Yang lebih detail dari strategi. Berupa Tools (alat) dan Komunikasi (Communication).
5.Actions (aksi) . Implementasi, pengambilan perencanaan kerja dalam Action Plan (perncanaan aksi) . Terdiri dari RACI Model, CSFs dan, KPIs
6.Control(pengawasan). Track progress melalui pengukuran (measuring), pengawasan (monitoring), pengecekan (reviewing), penempatan (updating and modifying). Terdiri dari Kinerja manajemen (Performance Management) dan Blanced Scorecard.
Keunikan metode SOSTAC adalah sederhana (simplicity). Pendekatan adalah memenuhi tahapan secara bersama-sama dalam menciptakan perencanaan pemasaran (marketing plan). Terdiri dari 5 C’s of Marketing Strategy (strategi pemasaran 5C), Feasibility Study (studi kelayakan), VMOST dan Customer Relationship Management (manajemen hubungan dengan pamilih).

2.2. SWOT
Merupakan analisis dari Strength (kekuatan) , Weakness (Kelemahan), Oportunity (Peluang) dan threat (Ancaman). Merupakan analisis manajemen yang berdasarkan pada kepekaan terhadap lingkungan manajemen terutama marketing atau pasar pasar dalam hal ini adalah pemilih.
Strength (Kekuatan) adalah berupa modal atau dana partai, kemampuan sumber daya manusia atau kualitas kader, teknologi, jaringan, dan brand image tau merek dalam hal ini kinerja partai apabila partai lama dan program serta perencanaan apabila mereka duduk pada lembaga pemerintahan yang dimiliki merupakan kekuatan yang dibutuhkan partai dalam mengembangkan diri dalam mencapai target atau sasaran yaitu memenangkan pemilu.
Weakness (kelemahan) adalah berbagai macam kelemahan yang dimiliki perusahaan, seperti isu-isu negative yang muncul, jaringan yang terbatas, tenaga propaganda yang masih kurang mengakar dalam jaringan, serta kelemahan-kelemahan lain yang memungkinkan untuk menjadi kendala dalam meningkatkan target atau sasaran yang harus dicapai.

2.3 PEST
PEST analysis adalah merupakan pola kerja dan strategi konsultan menggunakan pengamatan lingkungan makro eksternal (scan the external macro-environment) dalam setiap operasi mesin partai. PEST adalah singkatan dari : Political, Economic, Social and Technological (Politik, ekonomi, sosial da teknologi)
PEST factors merupakan sebuah aturan main yang penting dalam strategi menciptakan peluang nilai kreasi dalam merebut pemilih dalam persaingan pada pemilihan umum. Meskipun bahasa selalu diluar kontrol dari partai dan harus normal terdiri dari kesempatan atau peluang lain. Bersama macro-economical factors (factor makro ekonomi) dapat berbeda tiap continental, negara atau suatu tempat, juga biasanya analisis PEST seharusnya dicitrakan tiap negara. Berikut ini terdapat contoh dari tiap faktor-faktor tersebut :
1.Political (incl. Legal) /Politik (memasukkan hukum)
Penelitian berjenjang Kebijakan lingkungan dan proteksi, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan pemerintah.(Environmental regulations and protection Economic growth Income distribution Government research spending)
2.Economic (ekonomi)
Kebijakan pajak, suku bunga dan moneter, kependudukan, tingkat pertumbuhan penduduk, pembagian usaha industri berfokus pada teknologi. (Tax policies Interest rates & monetary policies Demographics, Population growth rates, Age distribution Industry focus on technological effort ) Menjadikan sesuatu yang menjadi sorotan dalam iklan kampanye.
3.Social (Sosial)
Kebijakan politik internasional dan retriksi pemerintah, perlindungan tenaga kerja, mobilitas sosial, penemuan dan pengembangan teknologi baru. Pemberdayaan hukum, perlindungan dan advokasi pemilih. Kebijakan pengangguran, merubah gaya hidup, tingkat transfer teknologi, Hukum perburuhan, pajak tenaga kerja dan pengembangan perilaku semangat wira usaha. (International trade regulations and restrictions, Government spending Labor / social mobility, New inventions and development, Contract enforcement law Consumer protection, Unemployment policy, Lifestyle changes Rate of technology transfer, Employment laws Taxation Work/career and leisure attitudes Entrepreneurial spirit)
4.Technological (teknologi)
Siklus hidup dan kecepatan dari perkembangan teknologi, organisasi pemerintah, tingkat perubahan perilaku pendidikan pengunaan energi dan biaya. Kebijakan persaingan, tingkat inflasi, fase perubahan dalam teknologi informasi, tingkat stabilitas politik dari siklus bisnis, jaminan kesehatan dan kesejahteraan, naluri dari pengamanan perubahan dalam internet, kebijakan perlindungan kepercayaan pemilih, keyakinan hidup, kondisi teknologi yang dalam situasi bergerak. (Life cycle and speed of technological obsolescence Government organization / attitude Exchange rates Education Energy use and costs. Competition regulation Inflation rates Fashion, hypes (Changes in) Information Technology Political Stability Stage of the business cycle Health consciousness & welfare, feelings on safety (Changes in) Internet , Safety regulations Consumer confidence Living conditions (Changes in) Mobile Technology )
Melengkapi PEST Analysis adalah relatif sederhana dan dapat dikerjakan melalui pelatihan (via workshops) menggunakan teknik wawancara (brainstorming), survey pemilih dengan alat statitistik dengan ketepatan tinggi. . Penggunaan dari PEST analysis bisa bermacam-macam dari partai dan strategi perencanaan, perencanaan kampanye, pengembangan propaganda dan agitasi, dan catatan penelitian (company and strategic planning, marketing planning, business and product development, dan research reports.)
Varian dari PEST Analysis selalu seperti SLEPT Analysis (plus Legal) or the STEEPLE Analysis: Social/demographic (sosial/kependudukan), Technological(teknologi), Economic(ekonomi), Environmental(lingkungan)/ natural(alam) , Political(politik), Legal (hukum) dan Ethical factors(factor etik). Juga Geographical factors (factor geografi) adalah signifikan.
2.4 Competitive Position (Posisi Persaingan)
Menggambarkan Posisi persaingan dari tingkat relatif dominan sebuah perusahaan dalam pasar membandingkan dengan kompetitor. Contohnya , Sebuah perusahaan memiliki target sebagai pemimpin pasar (market leader), atau tumbuh dari posisi ketiga menjadi dua, dalam pasar untuk penjualan pisang.
Juga, bisa diindikasikan dalam tingkat pasar sebagai market leader, challenger, follower atau niche player. Atau mengekspresikan prosentase pangsa pasar.
2.5 Management Berdasarakan Sasaran. (MBO)
Deskripsi MBO menerangkan secar obyektif dari setiap kader dan membandingkan dan langsung selalu menggambarkan kinerja yang obyektif yang diatur. Peningkatan kinerja organisasional dengan menerapkan sasaran organisasi dengan obyektif dari subordinat melalui Organisasi. Idealya, kader memiliki kekuatan yang memasuk diidentifikasi secara obyektif, tepat dan lengkap, dan sebagainya.
Prinsip Management by Objectives (manajemen berdasarakan sasaran) adalah :
Melalui tujuan organisasi (Cascading of organizational goals and objectives), Spesifikasi sasaran bagi anggota (Specific objectives for each member), membuat keputusan yang partisipatif (Participative decision making), periode waktu eksplisit (Explicit time period), dan evaluasi kinerja dan menghasilkan umpan balik (Performance evaluation and provide feedback).
Management by Objectives (manajemen berdasrkan sasaran) juga mengitruduksi metode SMART untuk mengecek validitas dan obyektifitas. Yaitu : kusus (Specific), terukur (Measurable), prestasi (Achievable), nyata (Realistic), dan hubungan waktu (Time-related).
Tahun 1990-an , Peter Drucker mengambil pengaruh dari metode manajemen organisasi kedalam perspektif, dimana ia berkata “It’s just another tool. It is not the great cure for management inefficiency. Management by Objectives works if you know the objectives, 90% of the time you don’t.” (tidak hanya satu-satunya alat. Yang tidak lebih besar untuk manajemn yang tidak efisien. Manajemen berdasarkan sasaran bekerja jika kita tahu sasarannya, 90% dari waktu bukan.

2.6 Pengertian Pemasaran
Marketing secara umum sering diterjemahkan dengan istilah pemasaran. Pemasaran itu sendiri sering diartikan dengan tindakan menjual barang atau jasa.
Menurut Chartered Institute Of Marketing (2001) Pemasaran adalah proses manajemen yang bertanggung jawab untuk mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keperluan pelanggan secara menguntungkan. Menurut Peter Drucker (1997), Pemasaran adalah hal begitu mendasar sehingga tidak dapat dipandang sebagai fungsi yang terpisah.

3.3 Pembahasan
Peran iklan partai dapan membentuk loyalitas apabila iklan itu efektif dan tidak hanya mengumbar janji belaka. Karena menghadapi kualitas pemilih yang makin kritis, dan pragmatis. Sehingga pemilih melihat pada bukti daripada janji-janji. Sdangkan pemilih memiliki loyalitas tertentu pada partai tertentu karena ikatan emosional, ikatan sejarah, ideology dan ikatan kepentingan.
Perkembangan partai modern dan terbuka membawa situasi bahwa orang dapat keluar masuk pada partai apa saja, tergantung pada kualitas individu, sehingga kader partai sebagai bentuk dari produk partai adalah cukup mempengaruhi perolehan suara partai. Sehingga ada perkembangan baru dari partai modern bahwa partai tidak merupakan variabel utama mendongkrak popularitas seseorang. Sedangkan sebaliknya kualitas seorang kader akan mendongkrak perolehan suara partai.
Tanpa kader yang berkualitas partai tidak akan memperoleh suara yang cukup mendokrak suara mereka. Dan hal ini mendorong partai untuk menciptakan kader-kader berkualitas atau mengambil orang-orang yang diluar partai tapi mendorong kualitas partai.
Namun factor capital dan nepotisme menjadikan seseorang untuk duduk menjadi kader dan wakil partai, sehingga mereka menganggap uang adlah segalanya dan mendongkrak suara di tengah masyarakat yang pragmatis.
Tantangan partai karena ketidak percayaan pemilih akan menyulitkan iklan partai dalam mempertahankan image atau brand atau performa mereka. Oleh karena itu partai harus memberikan criteria-kriteria yang terukur oleh pemilih. Karena pemebriataan dan janji yang tidak dipenuhi akan mendorong pemilih untuk meninggalkan partai.
Berbagai bentuk kepercayaan sangat dibutuhkan oleh pemilih untuk memiliki loyalitas, karena pemilih akan memiliki ukuran loyalitas yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA


A. Aaker. 1992. “Managing The Most Important Asset; Brand Equity; Strategy & Leadrship”, September / Oktober 1992; 2005; ABI/INFORM Global pg.56.

Collin V. Sowter ,1997,”Marketing Management”, Erlangga Press. 1997.

Darmadi., Sugiarto & Budiman. 2004. "Brand Equity Ten: Strategi Memimpin Pasar". Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Darmadi., Sugiarto dan Tony Sitinjak. 2001. "Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek": Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.

Davis, Scott M, 2000, Brand asset Management: driving profitable growth through your brands, San Francisco California, Jossey Base, Inc.

Dewi, Kinorika. 2003, "Menciptakan Brand Equity Melalui Kepuasan Pelanggan". Jurnal. Janavisi. Vol. 6, No. 1.

Faircloth B. James; Louis M Capella; Bruce L. Alford, 2001, "The Effect of Brand Attitude and Brand Image on Brand Equity", Journal of Marketing Theory and Practice, Summer, 61-75.

Ferdinand, Augusty T., 2000, Manajemen Pemasaran Sebuah Pendekatan Strategik, Research Paper Series, Program Magister Manajemen, Universitas Diponegoro, Semarang.


Hidayat, Taufik, 2006, “ICSA index 2006: Pertaruhan Para Pemenang Kepuasan Pelanggan,” Majalah Swa, 20/xx/21/21 September – 4 Oktober 2006, Hal 31.

Humdiana., 2005. "Analisis Elemen-Elemen Ekuitas Merek Produk Rokok Merek Djarum Black". Jurnal Ekonomi Perusahaan., vol. 12, No. 1, Maret 2005.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 1999, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE. Yogyakarta.
Keller, K.L. 1993. "Conceptualization, Measuring, and Managing Customer­based Brand Equity". Journal of Marketing, Vol. 57, January, pp. 1-22

-------------------------,2003 , "Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brad Equity, 2th edition, New Jersey, Prentice Hall.

Kotler, Phillip, 1997, Manajemen Pemasaran, Jilid 2. Prenhalindo. Jakarta

Muafi., dan Irhas Effendi. 2001. "Mengelola Ekuitas Merek: Upaya Memenangkan Persaingan di Era Global". Jurnal. EKOBIS, Vol. 2, No. 3, September 2001, pp. 129-139.

Nicolino, Patricia. F. 2001. “The Complete Idiot's Guide to Brand Management”. Alpha Books, Indianapolis.

Park, Chan Su; Srinivasan, V., (1994), "A Survey-Based Method for Measuring and Understanding Brand", Journal of Marketing Research, Vol. XXXI, 271-288.

Peter Drucker,1997, ”Marketing Management” Lembang Empat, Jakarta.

Rangkuti, Freddy. 2002. The Power of Brand; Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.

Simamora, Bilson. 2002. "Aura Merek: Tujuh Jurus Membangun Merek yang Kuat". Jumal Ekonomi Perusahaan. 2002.

Sitinjak, Tony., Tumpal (2005), "Pengaruh Citra Merek dan Sikap Merek terhadap Ekuitas Merek', Jurnal Ekonomi Perusahaan, Vol. 12 No. 2 Juni, 2005.

Sugiarto., dan Ellen Christina. 2004. "Menyingkap Korelasi Elemen-Elemen Ekuitas Merek Sebagai Dasar Penetapan Strategi Pemasaran Produk". Jurnal Ekonomi Perusahaan, Vol. 11, No. 2, Juni 2004.

Supranto J. , 1993,”Metode Peramalan Kuantitatif untuk Perencanaan”, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., 1993.

Quo Fadis Pendidikan Nasional Indonesia

Quo Fadis Pendidikan Nasional Indonesia

1. Pendahuluan.
Pendidikan saat ini merupakan kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan oleh siapapu. Tak kalah pentingnya darikebutuhan lain seperti sandang, pangan dan papan. Bahkan kebutuhan akan pendidikan adalah erupakan kebutuhan yang menjadi sangat utama bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana kesadaran untuk mengenyam pendidikan saat ini sudah cukup tinggi. Bahkan kadang-kadang mengeluarkan biaya yang tidak rasional untuk mencapai pendidikan yang diinginkan.
Namun apakah dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan pemerataan pendidikan yang makin merata akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Bahkan apakah justru mengalami disitegrasi dan disorientsi dari pendidikan itu snediri. Karena tanpa diikuti oleh kualitas pendidikan berupa fasilitas yang memenuhi syarat akan menigkatkan kualitas rakyat Indonesia yang semakin sadar akan pentingnya pendidikan tersebut.
Berdasarkan lapora kabinet Indonesia Bersatu dalam angka diperoleh laporan data pendidikan sebagai berikut :
1. Perluasan akses pendidikan serta peningkatan mutu dan manajemen pelayanan pendidikan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2008 adalah 50,47%. Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan sederajat adalah 95%, APK SMP 95%, APK SMA 64,20%, APK Perguruan Tinggi 18,5%, dan angka buta aksara mencapai angka 6,22%.
2. Anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun 2005 sebesar 75,1 trilyun rupiah; tahun 2006 sebesar 122,9 trilyun; tahun 2007 sebesar 142,2 trilyun; tahun 2008 sebesar 154,2 trilyun rupiah. Meningkat dalam panca warsa terakhir.
3. Jumlah sekolah terus meningkat dari tahun ke tahun dimana jumlah PT sudah mencapai 2.638 PT di Indonesia.
4. Anggaran BOS terus meningkat dari tahun 2005 (5,1 trilyun rupiah; 39,6 juta siswa) meningkat pada tahun 2008 (11,9 trilyun rupiah; 41,9 juta siswa) yang memperoleh BOS.
Namun besarnya peningkatan berbagai macam ideks pelayanan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di tengah globalisasi. Dimana paradigma pendidikan kita membutuhkan perbaikan yang mendasar tentang sistem dan pola penidikan yang lebih ada dimana kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu pesat.
Berjuta-juta lulusan pendidikan tak mampu untuk ditampung dalam lapangan kerja dalam sistem pemerintahan yang liberal dan demokrasi saat ini. Sehingga persaingan lebih berlangsung bebas dan cenderung tidak sehat, sehingga pendidikan hanya menjadi legalitas untuk dapat bersaing dalam memenuhi lapangan kerja yang diinginkan baik di dalam pemerintahan atau akses-akses kekuasaan lainnya.
Karena paradigma yang keliru tentang pendidikan nasional maka melahirkan berbagai macam dampak pendidikan yang tidak dapat menciptakan lapangan kerja baru, sehingga terjadi disinvestasi pendidikan nasonal, sehingga pemerintah semakin enggan untuk menanggung biaya pendidikan bagi rakyatnya, akibatnya karena factor keandirian pembiayaan pendidikan ini akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan yang berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Belum lagi tingginya angka pengannguran di Indonesia.
Tingkat pengangguran di Indonesia adalah mencapai 8,5% pada bulan februari 2008. Ini belum tergolong pada pengangguran setengah menganggur, hal ini merupakan tugas pemerintah yang cukup berat, dimana angka pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah sedangkan semua rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan penghidupan yang sesuai dengan kemampuan dan kualitas hidup sesuai dengan kealitas sumber daya manusia yang dimiliki. Pemerintah tidak dapat lepas begitu saja.

2. Sejarah Pendidikan Nasional di Indonesia.
Pendidikan nasional di Indonesia merupakan buah dari politik etis dari pemerintah Hindia Belanda pada waktu jaman penjajahan Belanda, Dimana pemerintah Belanda membuka kesempatan bagi bangsa Pribumi untuk mengikuti pendidikan belanda, untuk kebutuhan tenaga administrasi pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan ini awalnya adalah diikuti oleh kaum elit yang meningkat pada kesadaran akan keinginan menjadi bangsa berdaulat. Sehingga perjuangan melawan penjajah tersebut melahirkan kepeloporan pada elit pribumi yang mampu mentransformasikan pendidikan pada rakyat jelata melalui sekolah rakyat.
Namun paradigma pendidikan pemerintah hindia Belanda tersebut melahirkan pardigma pendidikan yang masih mengikuti pola pendidikan Belanda sampai dengan kemerdekaan, dan psca kemerdekaan sampai saat ini.
Berjuta-juta rakyat Indonesia memperoleh kesematan untuk m,eraih pendidikan, bahkan dengan dilakukannya wajib belajar dan pembebasan buta akasara.
Namun esensi pendidikan bukan itu saja.

3. Pendidikan Sudah Ada Sejak Manusia Ada.
Pendidikan sudah ada sejak adanya manusia, pada saat manusia ada itulah manusia di beri pola piker dan mengetahui keadaan alam. Mereka mengingat-ingat setiap kejadian alam untuk ditularkan pada yang lainnya dan generasi berikunya. Sehingga orang akan tahu akan suatu hal baik tidak, bahaya atau tidak dari pendidikan dasar dari mulut ke mulut tersebut.
Pengetahuan yang diberikan secara turun- temurun tersebut sebenarnya adalah yang disebut pendidikan itu sendiri, dan mereka saling mengajarkan, lahir kebudayaan untuk mengatasi keadaan alam. Lahir pulalalh berbagai macam pengetahuan dena berkembang sesuai peradaban manusia.
Sebenarnya pendidikan tidak formal saja, namun juga pendidikan non formal yaitu dari lingkungan baik masyarakat atau keluarga. Sebenarnya pendidikan adalah diberikan dan diperoleh dari masing-masing orang yang saling mengetahui. Pendidikan formalpun lahir dari kebiasaan informaltersebut.
Namun kekuasaan kerajaan dan pemerintahan mampu mentrnsformasikan pendidikan formal bagi putra-putra raja yang akan meneruskan kekuasaan orang tua mereka. Maka lahirlah pendikan ketatanegaraan, ilmu berperang dan berstrategi, kesejahteraan dan etika yang muncul dari dalamtubuh istana, namun selanjutnya nberkembang bagi keluraga bengsawan.
Revolusi IndUSTRI TeLah melahirkan kelas baru yang melahirkan kaum Industrialis, sehingga melahirkan industriawan dan kaumkapitalis serta borjuis. Perkembangan demokrasi selanjutnya pendidikan menjadi hgak bagi seluruh rakyat yang mampu mebiayai pendidikan, disertai dengan semakin pudarnya kela sosial secara formal.
Maka terbuktilah teori soialisme ilmiah Mark yang mampu menjawab bahwa setiap rakyat memiliki hak yang sama-rata dalam hal pendidikan. Pendidikan menjadi sebuah proses pencerahan dan pembentukan berbagai macam kesadaran sebagai manusia yang meiliki hak hidup dan memperoleh kesempatan yang sama.

5. Mengapa Pendidikan Mahal.
Karena pendidikan menjadikan masyarakat pada kelas sosial yang tertentu maka lahirlah bentuk kesadaran untuk memperoleh pendidikan bagi semua orang. Sehingga apapun akan dikorbankan untuk memperoleh pendidikan serta kesempatan dalam memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun perkembangannya pendidikan yang cukup memamdahipun tidak memberi peluang bagi siapa saja yang memperoleh pendidikan yang cukup dan memamdahi. Karena semakin besarnya tingkat persaingan dankecerdasan tiap manusia. Sehingga pendidikan menjadi kebutuhan dan menjadi sebuah komoditi yang cukup mahal dan memiliki permintaan yang cukup tinggi.
Namun apbila pendidikan tidak dapat memenenuhi peningkatan kualitas sumber daya manusia akan mencapai keseimbangan di masa depan. Karena kesempatan memperoleh pendidikan semakin lebar dengan akses informasi dan teknologi yang ada. Maka kesempatan memperoleh pendidikan menjadi banyak alternatif, sehingga orang lebih membutuhkan esensi pendidikan daripada formalisasi pendidikan itu sendiri.
Jaman selalu berubah mengikuti perekebangan teknologi seni dan budaya, sedang pendidikan merupakan bagian dari teknologi, seni dan budaya tersebut. Peningkatan kualitas pendidikan juga dibutuhkan bagi lembaga formal pendidikan atas persaingan saat ini, atau akan ditinggalkan oleh rakyat sendiri, karena lingkungan telah memberi penidikan yang cukup.

Senin, 09 Februari 2009

PERILAKU MENYIMPANG, GANGGUAN PSIKIATRIK, DAN KENAKALAN ANAK-ANAK DAN REMAJA SOLUSI DAN CARA MEENGATASINYA

PERILAKU MENYIMPANG, GANGGUAN PSIKIATRIK,
DAN KENAKALAN ANAK-ANAK DAN REMAJA
SOLUSI DAN CARA MEENGATASINYA

1. Pendahuluan
Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang.
Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007)
Tak dimungkiri pula, kehadiran teknologi yang serba digital dewasa ini banyak menjebak remaja kita untuk mengikuti perubahan ini. Hal ini perlu didukung dan disikapi positif mengingat kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan masa kini yang tidak bisa terelakkan. Namun, filterisasi atas merebaknya informasi dan teknologi super canggih melalui berbagai media komunikasi seringkali terlepas dari kontrol.
Pola perilaku budaya luar (baca: pengaruh era global), sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan mendapat dukungan berarti di kalangan remaja. Kemajuan informasi dan teknologi telah membawa ke arah perubahan konsep hidup dan perilaku sosial. Pengenalan dan penerimaan informasi dan teknologi tumbuh pesat bahkan menjadi kebutuhan hidup.
Perlu kiranya menjadi keprihatinan bersama, sekaligus menaruh perhatian lebih bila mengamati dan menjumpai sebagian dari remaja yang makin menikmati dan menghabiskan masa remajanya dengan kegiatan yang kurang berfaedah bahkan sama sekali tak berguna demi masa depannya. Sungguh ironis, kala daya tarik pendidikan dan pengetahuan yang mestinya wajib didapatkan oleh para remaja, malah justru menjadi momok yang menakutkan dan memicu kebencian.
Perlu pula kiranya memformulasikan kebutuhan pendidikan (akhlak, ilmu pengetahuan, teknologi, mental dan lain-lain) yang lebih mendekati kepada kepentingan riil anak remaja masa kini. Tidak sekadar mengadopsi pola-pola atau cara-cara budaya negara-negara sekuler, sementara sering mengesampingkan nilai-nilai moral dan mental generasi remaja.
Masalahnya sejauh mana nilai positif dari kemajuan tersebut mampu dipilih dan dipilah secara cermat dan bertanggungjawab oleh remaja. Ini sangat urgen, karena persoalannya menyangkut masa depan remaja itu sendiri dan bisa jadi negara tercinta ini, akan kehilangan satu mata rantai generasi penerus (the loss generation). Jika hal ini benar-benar terjadi, maka dalam tataran ini, siapa yang harus dipersalahkan?
Memang, sebagai bagian dari masalah sosial, kenakalan remaja merupakan masalah yang serius karena akan mengancam kehidupan suatu bangsa. Penyakit remaja muncul sebagai akibat melemahnya pengertian dan kewaspadaan terhadap kebutuhan dan permasalahan usia remaja itu sendiri. Sifat-sifat sulit diatur, berontak, merajuk, kumpul-kumpul, suka meniru, mulai jatuh cinta, hura-hura dan sebagainya, adalah rangkaian pola perilaku yang selalu muncul membayangi sisi kehidupan remaja.
Jika tidak dikontrol dan diawasi, hal ini tentu dapat memicu timbulnya masalah sosial, di mana tercipta situasi yang kurang atau tidak mengenakkan dalam masyarakat. Contoh perilaku remaja yang mengindikasikan timbulnya permasalahan sosial bagi lingkungan sekitarnya seperti: kebiasaan merusak fasilitas umum dan sosial, coret-coret dinding, minum minuman beralkohol, tawuran antar remaja, kebut-kebutan di jalan raya dan bahkan sampai pada perilaku seks bebas (free sex) dan pemakaian obat-obatan terlarang. Kondisi ini ada bukan untuk dimusuhi atau dijauhi, tetapi mesti dipahami dan didekati karena merupakan integritas remaja di dalam menemukan identitas diri dan pengakuan pribadinya.
Mengamati dan memahami pola-pola perilaku remaja yang memang sangat rumit dan tinggi kompleksitasnya, maka sebelum terlambat, segenap potensi sosial yang tersedia harus diarahkan dan diupayakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk melibatkan perannya. Penanganan permasalahan kenakalan remaja pun tidak hanya ditekankan pada remaja itu sendiri, melainkan multi dimensi. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan perhatian dalam memahami perilaku menyimpang remaja.
YMasalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku. Gangguan perilaku tersebut adalah merupakan gangguan kejiwaan atau psikologis yang tidak dapat terdeteksi begitu saja. Banyak aspek yang menyebabkannya baik aspek psikologis, lingkungan maupun kejiwaan.
Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya kurang dari 20% (Keys, 1998). Karena gangguan ini sering tidak dianggap serius seperti gangguanm yang bersidat fisik atau jasmaniah, karena kondisi sosial masyarakat sekarang ini masih krang memperhatikan maslah kejiwaan.
Krisis ekonomi saat ini karena kesulitan masyarkat adalah mengatasi kebutuhan ekonomi sebagai kebutuhan fisik sehingga tidak mempu berkonsentrasi pada masalah-masalah psikologis yang bersifat sekunder bahkan tertier. Maslah psikologis baru dipikirkan setelah dampaknya cukup meresahkan masyarakat dan lingkungan. Perhatian keluarga pada anak menjadi berkurang karena kebutuhan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga perhatian orang tua terhadap keluarga menjadi berkurang. Akibatnya muncul kenakalan keluarga dan penyimpangan pada anak dan remaja terjadi.
Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/ Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang paling banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara 6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar untuk memahami gangguan yang terjadi pada anak-anak, dan remaja adalah dengan menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
Gangguan spesifik pada masa kanak-kanak meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, gangguan perkembangan, gangguan eliminasi, gangguan perilaku disruptif, dan gangguan ansietas. Gangguan yang terjadi pada anak-anak dan juga terjadi pada masa dewasa adalah gangguan mood dan gangguan psikotik. Gejala-gejala gangguan jiwa pada anak-anak atau remaja berbeda dengan orang dewasa yang mengalami gangguan serupa.
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem .
Masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. pencarian jati diri seseorang terjadi pada masa remaja. namun, di masa remaja seseorang dapat terjerumus ke dalam kehidupan yang dapat merusak masa depan mereka. memakai narkoba, seks bebas, alkohol, dan kekerasan merupakan kenakalan yang sering dilakukan oleh anak remaja. narkoba adalah bentuk kenakalan yang sangat berbahaya bagi remaja. ketergantungan pada narkoba bisa membawa anak pada tindakan kriminal. untuk bisa memperolehnya, tak tanggung-tanggung mereka melakukan tindakan pencurian, penodongan, perampasan dan lain sebagainya. selain dengan narkoba, remaja juga dekat dengan seks bebas. seks bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit pada remaja. diantaranya adalah penyakit kelamin dan HIV Aids. seks bebas juga dapat menyebabkan kehamilan yang dapat merusak masa depan mereka.
Alkohol juga sangat dekat dengan remaja. biasanya mereka minum-minuman keras untuk melupakan masalah yang terjadi pada diri mereka dan supaya mereka disegani oleh teman sebayanya. tindakan tersebut dapat memicu adanya tindakan kriminal yang dilakukan di luar kesadaran. selain dengan alkohol, remaja juga dekat  dengan tindakan kekerasan. tindakan kekerasan itu dapat berupa tawuran antar pelajar. tawuran antar remaja tersebut biasanya terjadi karena kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Untuk menghindarkan kebiasaan negatif pada diri remaja perlu dilakukan penyuluhan. penyuluhan dapat dijadikan sebagai tempat pemberitahuan bahaya dan akibat dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang tersebut.
2. Landasan Teori.
2.1 Masalah yang Selau dihadapi Remaja
Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah :
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

5. Attention Deficit Hyperactivity disorder,
Attention Deficit Hyperactivity disorder yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
2.2. Jenis Gangguan Jiwa Anak-anak.
2.2.1. Gangguan perkembangan pervasif.
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.2.2 Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi mencuri, berbohong, menggertak, melarikan diri, membolos, menyalahgunakan zat, melakukan pembakaran, bentuk vandalisme yang lain, jahat terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menunjukkan sikap menentang, seperti berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras, zat terlarang, atau keduanya).
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa.
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa biasanya berupa :
Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
4. Skizofrenia.
Lebih jauh dapat dijelaskan sebagai berikut :
Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas (Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik diri secara sosial, dan komunikasi.
Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.


5. Gangguan mood.
Biasanya dapat dijelaskan berupa hal-hal sebagai berikut :
Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1% sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi pada orang dewasa.
Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri, keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).
6. Gangguan penyalahgunaan zat.
Gangguan ini banyak terjadi; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat; misalnya, pada remaja penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan waktu antara 15 sampai 20 tahun.
Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya merupakan hal yag banyak terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku disruptif.
Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, diantaranya adalah penurunan fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku menjadi agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.
2.2.3 Etiologi Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
Tidak ada penyebab tunggal dalam gangguan mental pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi secara kompleks.

1. Faktor-faktor psikobiologik.
Faktor-faktor psikobilogik biasanya akibat :
Riwayat genetika keluarga, seperti retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas.
Abnormalitas struktur otak. Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan perubahan neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme, skizofrenia kanak-kanak, dan ADHD.
Pengaruh pranatal, seperti infeksi maternal, kurangnya perawatanm pranatal, dan ibu yang menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan abnormalitas perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada janin sangat signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan saraf lainnya.
Penyakit kronis atau kecacatan dapat menyebabkan kesulitan koping bagi anak.
2. Dinamika keluarga.
Dinamika keluarga yang tidak sehat dapat mengakibatkan perilaku menyimpang yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Penganiayaan anak. Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal, perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri). Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori, kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan (Glod, 1998).
Disfungsi sistem keluarga (mis., kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya batasan antar generasi, dan perasaan terjebak) disertai dengan keterampilan koping yang tidak adekuat antaranggota keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua.
3. Faktor lingkungan.
Lingkungan dfan kehidupan sosial yang tidak menguntungkan akan menjadi penyebab utama pula, seperti :
Kemiskinan.
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
Tunawisma.
Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah psikologis diantara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol (Townsend, 1999).
Budaya keluarga.
Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah psikologik..

3. Analisis dan Pembahasan.
3.1 Pengaruh Sifat Over Protektif terhadap penyimpangan anak dan remaja.
Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
Masngudin HMS, (2008) melakukanpenelitian dan kesimpulan yang diperoleh adalah Mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus.
Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan. Artinya kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD sampai dengan SLTA proporsi untuk melakukan kenakalan sama kesempatannya.
Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
Keluarga dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
Pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan orangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%).
Kecenderungan anak pegawai negeri walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadaan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
Banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan khusus.
Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). (Masngudin HMS, 2008)
Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakala pada
kehidupan beragama keluarga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak. (Masngudin HMS, 2008)
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama. Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus pencurian. (Masngudin HMS, 2008)
Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum. (Masngudin HMS, 2008)
Pola asuh mempunyai peran penting dalam pembentukan kepribadian anak. Bagaimana kehidupan anak nantinya tidak lepas dari cara-cara pengasuhan orang tua yang mereka dapatkan. Remaja yang berada dalam pengasuhan orang tua yang over protective akan membuat mereka merasa tertekan, merasa terkekang, dan pada akhirnya remaja akan mencari apa yang mereka butuhkan dari lingkungan pergaulan mereka, padahal yang mereka peroleh belum tentu benar. Bahkan remaja cenderung berlebihan dalam mengekspresikan kebebasan mereka ketika berada di tengah-tengah kelompoknya. Hal ini dapat mengakibatkan remaja berperilaku menyimpang sebagai bentuk penolakan mereka akan sikap over protective orang tuanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah dengan sampel sejumlah 4 kelas, yaitu 1 kelas untuk uji coba penelitian dan 3 kelas untuk penelitian. Dalam penelitian ini metode pengambilan data penelitian menggunakan skala persepsi terhadap sikap over protective orang tua menurut Wicaksono (1993) dan skala kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja menurut Jensen (Kartono, 1986).
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis product moment. Hasil koefisien korelasi (rxy) = 0,310 dengan p<0,01, hal ini berarti ada hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja. Koefisien determinan (r2) = 0,096 yang berarti sumbangan persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja sebesar 9,6 %.
Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja Setelah dianalisis secara bivariat antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya dianalisis secara statistik dengan rumus product moment guna melihat keeratan hubungan tersebut. Kesimpulannya ada hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya.
Secara jenis kelamin terlihat remAja pria lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh, tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus.
Demikian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi) terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus.
Dan akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh remaja sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama. Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak.
Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.
Keempat, bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak. Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Kelima, bagaimana pengaruh tayangan media massa baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan. Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja, gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan jelas.
3.2 Solusi dan Jalan Keluar yang Harus Ditempuh.
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan usia remaja, usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa hal kunci yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama. Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam hati sanubari para remaja tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus. Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati. Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna. Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan "kasih sayang" yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang sebenarnya.
Pertama, aspek pendidikan formal/lingkungan sekolah. Pendidikan yang lebih menekankan kepada bimbingan dan pembinaan perilaku konstruktif, mandiri dan kreatif menjadi faktor penting, karena melatih integritas mental dan moral remaja menuju terbentuknya pribadi yang memiliki daya ketahanan pribadi dan sosial dalam menghadapi benturan-benturan nilai-niai (clash of value) yang berlaku dalam lingkungan remaja itu sendiri berikut lingkungan sosialnya.
Kedua, aspek lingkungan keluarga, jelas memberi andil yang signifikan terhadap berkembangnya pola perilaku menyimpang para remaja, karena proses penanaman nilai-nilai bermula dari dinamika kehidupan dalam keluarga itu sendiri dan akan terus berlangsung sampai remaja dapat menemukan identitas diri dan aktualisasi pribadinya secara utuh. Remaja akan menentukan perilaku sosialnya seiring dengan maraknya perilaku remaja seusianya yang notabene mendapat penerimaan secara utuh oleh kalangannya. Oleh karenanya, peranan orang tua termasuk sanak keluarga lebih dominan di dalam mendidik, membimbing, dan mengawasi serta memberikan perhatian lebih sedini mungkin terhadap perkembangan perilaku remajanya.
Ketiga, aspek lingkungan pergaulan seringkali menuntut dan memaksa remaja harus dapat menerima pola perilaku yang dikembangkan remaja. Hal ini sebagai kompensasi pengakuan keberadaan remaja dalam kelompok. Maka, perlu diciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif, agar situasi dan kondisi pergaulan dan hubungan sosial yang saling memberi pengaruh dan nilai-nilai positif bagi aktifitas remaja dapat terwujud.
Keempat, aspek penegakan hukum/sanksi. Ketegasan penerapan sanksi mungkin dapat menjadi shock teraphy (terapi kejut) bagi remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Dan ini dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kepolisian dan lembaga lainnya.
Terakhir, aspek sosial kemasyarakat. Terciptanya relasi-relasi sosial yang baik dan serasi di antara warga masyarakat sekitar, akan memberi implikasi terhadap tumbuh dan berkembangnya kontak-kontak sosial yang dinamis, sehingga muncul sikap saling memahami, memperhatikan sekaligus mengawasi tindak perilaku warga terutama remaja di lingkungannya. Hal ini tentu sangat mendukung terjalinnya hubungan dan aktifitas remaja yang terkontrol., F
3.3 Penatalaksanaan Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
3.3.1. Perawatan berbasis komunitas saat ini lebih banyak terdapat pada managed care.
Yaitu dengan cara-cara yaitu :
Pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah perawatan pranatal awal, program intervensi dini bagi orang tua dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam membesarkan anak, dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
Pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. Metodenya meliputi konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan rujukan kesehatan jiwa komunitas, layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi traumatik, konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman sebaya.
Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu, terapi bermain, dan program pendidikan khusus untuk anak-anak yang tidak mampu berpartisipasi dalam sistem sekolah yang normal. Metode pengobatan perilaku pada umumnya digunakan untuk membantu anak dalam mengembangkan metode koping yang lebih adaptif.
Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga penting untuk membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan yang dapat meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.
3.3.2. Pengobatan berbasis rumah sakit dan Rehabilitasi.
Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasana diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
Program hospitalisasi parsial juga tersedia, memberikan program sekolah di tempat (on-site) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak yang menderita penyakit jiwa. Seklusi dan restrein untuk mengendalikan perilaku disruptif masi menjadi kontroversi. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat bersifat traumatik pada anak-anak dan tidak efektif untuk pembelajaran respon adaptif. Tindakan yang kurang restriktif meliputi istirahat (time-out), penahanan terapeutik, menghindari adu kekuatan, dan intervensi dini untuk mencegah memburuknya perilaku.
3.3.3 Farmakoterapi.
Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan. Medikasi psikotropik digunakan dengan hati-hati pada klien anak-anak dan remaja karena memiliki efek samping yang beragam.
a. Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja memengaruhi jumlah dosis, respon klinis, dan efek samping dari medikasi psikotropik.
b. Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat memengaruhi hasil pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang tidak konsisten, terutama dengan antidepresan trisiklik.
4. Kesimpulan.
Berdasarkan analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus.
Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna.
Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.








Daftar Pustaka

Achlis, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial I, STKS , Bandung.

Eitzen, Stanlen D, 1986, Social Problems, Allyn and Bacon inc, Boston, Sydney, Toronto .

Gunarsa Singgih D at al, 1988, Psikologi Remaja, BPK Gunung Mulya, Jakarta
Kartini Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta.

Sulis Styawan, 2007. Remaja dan perilaku menyimpang
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (uny). PT Antar Surya Jaya Surabaya. 2007.

Kaufman, James, M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Merril Publishing Company, Columbus, London, Toronto.

Masngudin HMS, adalah peneliti pada Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. Puslitbang UKS, Badan Latbang Sosial Departemen Sosial RI. 11. January 2008, 19:34:39

Nazir, Moh, 1985, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.1985.

Sartono, Suwarniyati, 1985, Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan Remaja di DKI Jakarta, laporan penelitian, UI, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta.

_______________, 1985 Perubahan Sosial, Rajawali, Jakarta.


Isaac, Ann. 2004. Panduan Belajar : Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Jakarta: EGC.

http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=13&cTipe_artikel=3

EFEKTIFITAS IKLAN PARTAI DALAM PEMILU 2009 PADA MEDIA MASA

EFEKTIFITAS IKLAN PARTAI DALAM PEMILU 2009
PADA MEDIA MASA

1. Pendahuluan.
Tidak ada kecap nomor dua, itu kata pepatah. Itulah yang bisa dikatakan pada partai bahwa semua kecap nomor satu, artinya partai-partai berjanji-janji pada rakyat andai menang, pilihlah saya, besok lebih baik, atau mbah saya sudah bikin kemajuan, sekarang sedang mengalami kemunduran, dan sebagainya. Partai-partai berlomba-lomba mengiklankan atribut partai dan program partai dengan berbagai macam cara dan gaya bahasa.
Banyaknya partai ibarat cendawan di musim hujan menjadikan partai berlomba-lomba untuk melakukan kampanye di berbagai daerah baik perkotaan sampai perdesaan di seluruh penjuru tanah air. Kampanye dilakukan melalui berbagai macam cara dan gaya. Baik melalui ikaln baliho, Koran, majalah, radio, televise bahkan Internet.
Persoalannya berbagai iklan yang dilakukan oleh partai akan efektif dan efisien menarik masa untuk memilih partai tersebut. Karena mengiklankan partai tidak sama dengan mengiklankan produk tertentu. Karena produk yang ditawarkan adalah berbeda, dimana dalam iklan dikenal promotions mix, sedang dalam iklan partai juga memiliki peran marketing mix, meski dengan produk yang berbeda.
Iklan dapat berupa iklan merek dagang dan jasa, sedangkan partai ini susah untuk dikatagorikan dalam dua katagori tersebut. Apakah produk barang atau jasa, jadi susah untuk dikatgorikan pada keduanya. Sedangkan iklan partai adalah iklan yang menawarkan jati diri atau performance, Atribut, symbol atau bendera, serta program atau janji. Sedangkan bukti bahwa partai itu bisa mempertahankan semuanya setelah melewati beberapa katagori diatas, apakah iklan partai memenuhi produk yang mereka tawarkan.
Persaingan dalam pemilu 2009 oleh partai-partai baik partai baru atau partai yang sudah cukup lama cukup ketat, dengan munculnya beberapa partai baru yang lahir, dan berusaha untuk eksis dan bertahan merebut pemilih. Suatu perkembangan teknologi periklanan di Indonesia yang cukup pesat tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah revolusi besar di bidang komunikasi, dan semakin cepatlah informasi kepartaian dapat disampaikan secara lengsung kepada pemilih tanpa melakukan penggalangan massa dan mobilisasi masa.
Munculnya persaingan itu telah melahirkan berbagai macam persaingan yang sehat maupun tidak sehat. Perang propaganda terus terjadi, saling mengklain jasa pada masyarakat, mengumbar janji dan menyerang partai lain, bahkan oleh partai yang baru sekalipun karena mempunyai sejarah di masa lalu, pada pemerintahan lama dengan partai lama yang justru sekarang menjadi pesaing-pesaingnya. Diikuti inovasi-inovasi tentang bahasa-bahasa komunikasi massa bagi pemilih baik pemilih mengambang, pemilih pemula atau tradisional. Pemilih akan banyak mendapatkan pilihan, dan saatnyalah bahwa pemilih atau rakyat adalah raja. Sehingga partai-partai saat ini harus memanjakan pemilih agar tidak ditinggalkan pemilihnya untuk memilih kompetitor lainnya. Karena makin banyak partai, alternatif layanan yang akan diberikan pada partainya makin beragam.
Bagaimana untuk menjadi iklan partai yang tidak hanya menjadi iklan kecap nomor satu tidaklah mudah, karena iklan yang membohongi dengan janji-janji kosong akan mengurangi kepercayaan pemilih. Pemilih akan terus mencari alternative baru bagi kehidupan negara sebagi aktualisasi dari kepentingan individual mereka dan kepentingan kelompok dengan kedekatan emosional, ideology dan kepentingan.
Iklan Partai dikenal sejak periode pasca Orde baru atau yang disebut periode reformasi. Dimana pintu multi partai telah dibuka pemerintah. Berjuta-juta orang memulih di dalam pemilu 1999 dengan berpuluh-puluh part (48) dalam menentukan harapan perubahan yang mereka miliki. Meskipun penggalangan masa masih dominant dalan pemilu 1999 namun iklan partai mulai dikenal oleh beberapa partai. Meskipun peran iklan jurnalistik melalui media masa cetak maupun elektronik cukup dominant.
Mereka mampu membangun asosiasi partai yang cukup efektif seperti PDI Perjuangan dengan Ingat-Ingat, kemudian Golkar dengan Golkar baru, dan PKB dengan membela yang benar, dan partai-partai yang berbasis sejarah cukup kuat dan berbasis tradisional dan ideologis sejenis banyak merebut hati pemilih. Sehingga peran iklan belumlah dominan pada saat itu.
Peran iklan partai lebih efektif lagi pada pemilu 2004 dengan mendongkrak partai Demokrat dengan mengantarkan presidennya pada pemilihan presiden 2004. Dimana mulai terjadi peradigmabaru kampanye pemilu dengan penggalangan masa dengan merubah komunikasi masa dengan peran iklan partai.
Meski iklan tidak selamanya efektif seperti iklan yang terlalu gencar pada pemiliha gubernur di Jawa Tengah justru menglami kekalahan, karena pemilih tiap daerah memiliki berbagai spesifikasi khusus dalam menentukan pilihan dan melakukan persepsi pada iklan partai.

2.1 Definisi model SOSTAC dalam Iklan Partai.
Karena sudah melakukan berbagai media yang berupa iklan maka partai tidak bisa lepas dari peran iklan dalamkaidah ilmu komunikasi, ekonomi, politik dan hukum. Partai sudah bicara iklan maka akan menerapkan peran teori-teori ekonomi dan Komunikasi seperti SOSTEC misalnya.
SOSTAC adalah singkatan atau ringkasan tahapan-tahapan proses strategi pemasaran oleh Paul R. Smith (1990). SOSTAC terdiri dari :
Situation Analysis. (Analisis Situasi) yang mana terdiri dari SWOT Analysis, PEST Analysis, Marketing Mix(bauran kebijakan) dan Competitive Position (posisi persaingan).
Objectives. (obyektif) Kemana kita akan pergi (Where do we want to go)? Terdiri dari : Ashridge Mission Model, 5 P’s Model, SMART.
Strategy(strategi). Bagiamana kita mendapatkanya (How are we going to get there)? Terdiri dari : Market Segmentation (sekmentasi pasar) dan Positioning.
Tactics (taktik). Yang lebih detail dari strategi. Berupa Tools (alat) dan Komunikasi (Communication).
Actions (aksi) . Implementasi, pengambilan perencanaan kerja dalam Action Plan (perncanaan aksi) . Terdiri dari RACI Model, CSFs dan, KPIs
Control(pengawasan). Track progress melalui pengukuran (measuring), pengawasan (monitoring), pengecekan (reviewing), penempatan (updating and modifying). Terdiri dari Kinerja manajemen (Performance Management) dan Blanced Scorecard.
Keunikan metode SOSTAC adalah sederhana (simplicity). Pendekatan adalah memenuhi tahapan secara bersama-sama dalam menciptakan perencanaan pemasaran (marketing plan). Terdiri dari 5 C’s of Marketing Strategy (strategi pemasaran 5C), Feasibility Study (studi kelayakan), VMOST dan Customer Relationship Management (manajemen hubungan dengan pamilih).

2.2. SWOT
Merupakan analisis dari Strength (kekuatan) , Weakness (Kelemahan), Oportunity (Peluang) dan threat (Ancaman). Merupakan analisis manajemen yang berdasarkan pada kepekaan terhadap lingkungan manajemen terutama marketing atau pasar pasar dalam hal ini adalah pemilih.
Strength (Kekuatan) adalah berupa modal atau dana partai, kemampuan sumber daya manusia atau kualitas kader, teknologi, jaringan, dan brand image tau merek dalam hal ini kinerja partai apabila partai lama dan program serta perencanaan apabila mereka duduk pada lembaga pemerintahan yang dimiliki merupakan kekuatan yang dibutuhkan partai dalam mengembangkan diri dalam mencapai target atau sasaran yaitu memenangkan pemilu.
Weakness (kelemahan) adalah berbagai macam kelemahan yang dimiliki perusahaan, seperti isu-isu negative yang muncul, jaringan yang terbatas, tenaga propaganda yang masih kurang mengakar dalam jaringan, serta kelemahan-kelemahan lain yang memungkinkan untuk menjadi kendala dalam meningkatkan target atau sasaran yang harus dicapai.

2.3 PEST
PEST analysis adalah merupakan pola kerja dan strategi konsultan menggunakan pengamatan lingkungan makro eksternal (scan the external macro-environment) dalam setiap operasi mesin partai. PEST adalah singkatan dari : Political, Economic, Social and Technological (Politik, ekonomi, sosial da teknologi)
PEST factors merupakan sebuah aturan main yang penting dalam strategi menciptakan peluang nilai kreasi dalam merebut pemilih dalam persaingan pada pemilihan umum. Meskipun bahasa selalu diluar kontrol dari partai dan harus normal terdiri dari kesempatan atau peluang lain. Bersama macro-economical factors (factor makro ekonomi) dapat berbeda tiap continental, negara atau suatu tempat, juga biasanya analisis PEST seharusnya dicitrakan tiap negara. Berikut ini terdapat contoh dari tiap faktor-faktor tersebut :
Political (incl. Legal) /Politik (memasukkan hukum)
Penelitian berjenjang Kebijakan lingkungan dan proteksi, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan pemerintah.(Environmental regulations and protection Economic growth Income distribution Government research spending)
Economic (ekonomi)
Kebijakan pajak, suku bunga dan moneter, kependudukan, tingkat pertumbuhan penduduk, pembagian usaha industri berfokus pada teknologi. (Tax policies Interest rates & monetary policies Demographics, Population growth rates, Age distribution Industry focus on technological effort ) Menjadikan sesuatu yang menjadi sorotan dalam iklan kampanye.
Social (Sosial)
Kebijakan politik internasional dan retriksi pemerintah, perlindungan tenaga kerja, mobilitas sosial, penemuan dan pengembangan teknologi baru. Pemberdayaan hukum, perlindungan dan advokasi pemilih. Kebijakan pengangguran, merubah gaya hidup, tingkat transfer teknologi, Hukum perburuhan, pajak tenaga kerja dan pengembangan perilaku semangat wira usaha. (International trade regulations and restrictions, Government spending Labor / social mobility, New inventions and development, Contract enforcement law Consumer protection, Unemployment policy, Lifestyle changes Rate of technology transfer, Employment laws Taxation Work/career and leisure attitudes Entrepreneurial spirit)
Technological (teknologi)
Siklus hidup dan kecepatan dari perkembangan teknologi, organisasi pemerintah, tingkat perubahan perilaku pendidikan pengunaan energi dan biaya. Kebijakan persaingan, tingkat inflasi, fase perubahan dalam teknologi informasi, tingkat stabilitas politik dari siklus bisnis, jaminan kesehatan dan kesejahteraan, naluri dari pengamanan perubahan dalam internet, kebijakan perlindungan kepercayaan pemilih, keyakinan hidup, kondisi teknologi yang dalam situasi bergerak. (Life cycle and speed of technological obsolescence Government organization / attitude Exchange rates Education Energy use and costs. Competition regulation Inflation rates Fashion, hypes (Changes in) Information Technology Political Stability Stage of the business cycle Health consciousness & welfare, feelings on safety (Changes in) Internet , Safety regulations Consumer confidence Living conditions (Changes in) Mobile Technology )
Melengkapi PEST Analysis adalah relatif sederhana dan dapat dikerjakan melalui pelatihan (via workshops) menggunakan teknik wawancara (brainstorming), survey pemilih dengan alat statitistik dengan ketepatan tinggi. . Penggunaan dari PEST analysis bisa bermacam-macam dari partai dan strategi perencanaan, perencanaan kampanye, pengembangan propaganda dan agitasi, dan catatan penelitian (company and strategic planning, marketing planning, business and product development, dan research reports.)
Varian dari PEST Analysis selalu seperti SLEPT Analysis (plus Legal) or the STEEPLE Analysis: Social/demographic (sosial/kependudukan), Technological(teknologi), Economic(ekonomi), Environmental(lingkungan)/ natural(alam) , Political(politik), Legal (hukum) dan Ethical factors(factor etik). Juga Geographical factors (factor geografi) adalah signifikan.
2.4 Competitive Position (Posisi Persaingan)
Menggambarkan Posisi persaingan dari tingkat relatif dominan sebuah perusahaan dalam pasar membandingkan dengan kompetitor. Contohnya , Sebuah perusahaan memiliki target sebagai pemimpin pasar (market leader), atau tumbuh dari posisi ketiga menjadi dua, dalam pasar untuk penjualan pisang.
Juga, bisa diindikasikan dalam tingkat pasar sebagai market leader, challenger, follower atau niche player. Atau mengekspresikan prosentase pangsa pasar.
2.5 Management Berdasarakan Sasaran. (MBO)
Deskripsi MBO menerangkan secar obyektif dari setiap kader dan membandingkan dan langsung selalu menggambarkan kinerja yang obyektif yang diatur. Peningkatan kinerja organisasional dengan menerapkan sasaran organisasi dengan obyektif dari subordinat melalui Organisasi. Idealya, kader memiliki kekuatan yang memasuk diidentifikasi secara obyektif, tepat dan lengkap, dan sebagainya.
Prinsip Management by Objectives (manajemen berdasarakan sasaran) adalah :
Melalui tujuan organisasi (Cascading of organizational goals and objectives), Spesifikasi sasaran bagi anggota (Specific objectives for each member), membuat keputusan yang partisipatif (Participative decision making), periode waktu eksplisit (Explicit time period), dan evaluasi kinerja dan menghasilkan umpan balik (Performance evaluation and provide feedback).
Management by Objectives (manajemen berdasrkan sasaran) juga mengitruduksi metode SMART untuk mengecek validitas dan obyektifitas. Yaitu : kusus (Specific), terukur (Measurable), prestasi (Achievable), nyata (Realistic), dan hubungan waktu (Time-related).
Tahun 1990-an , Peter Drucker mengambil pengaruh dari metode manajemen organisasi kedalam perspektif, dimana ia berkata “It’s just another tool. It is not the great cure for management inefficiency. Management by Objectives works if you know the objectives, 90% of the time you don’t.” (tidak hanya satu-satunya alat. Yang tidak lebih besar untuk manajemn yang tidak efisien. Manajemen berdasarkan sasaran bekerja jika kita tahu sasarannya, 90% dari waktu bukan.

2.6 Pengertian Pemasaran
Marketing secara umum sering diterjemahkan dengan istilah pemasaran. Pemasaran itu sendiri sering diartikan dengan tindakan menjual barang atau jasa.
Menurut Chartered Institute Of Marketing (2001) Pemasaran adalah proses manajemen yang bertanggung jawab untuk mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keperluan pelanggan secara menguntungkan. Menurut Peter Drucker (1997), Pemasaran adalah hal begitu mendasar sehingga tidak dapat dipandang sebagai fungsi yang terpisah.

3.3 Pembahasan
Peran iklan partai dapan membentuk loyalitas apabila iklan itu efektif dan tidak hanya mengumbar janji belaka. Karena menghadapi kualitas pemilih yang makin kritis, dan pragmatis. Sehingga pemilih melihat pada bukti daripada janji-janji. Sdangkan pemilih memiliki loyalitas tertentu pada partai tertentu karena ikatan emosional, ikatan sejarah, ideology dan ikatan kepentingan.
Perkembangan partai modern dan terbuka membawa situasi bahwa orang dapat keluar masuk pada partai apa saja, tergantung pada kualitas individu, sehingga kader partai sebagai bentuk dari produk partai adalah cukup mempengaruhi perolehan suara partai. Sehingga ada perkembangan baru dari partai modern bahwa partai tidak merupakan variabel utama mendongkrak popularitas seseorang. Sedangkan sebaliknya kualitas seorang kader akan mendongkrak perolehan suara partai.
Tanpa kader yang berkualitas partai tidak akan memperoleh suara yang cukup mendokrak suara mereka. Dan hal ini mendorong partai untuk menciptakan kader-kader berkualitas atau mengambil orang-orang yang diluar partai tapi mendorong kualitas partai.
Namun factor capital dan nepotisme menjadikan seseorang untuk duduk menjadi kader dan wakil partai, sehingga mereka menganggap uang adlah segalanya dan mendongkrak suara di tengah masyarakat yang pragmatis.
Tantangan partai karena ketidak percayaan pemilih akan menyulitkan iklan partai dalam mempertahankan image atau brand atau performa mereka. Oleh karena itu partai harus memberikan criteria-kriteria yang terukur oleh pemilih. Karena pemebriataan dan janji yang tidak dipenuhi akan mendorong pemilih untuk meninggalkan partai.
Berbagai bentuk kepercayaan sangat dibutuhkan oleh pemilih untuk memiliki loyalitas, karena pemilih akan memiliki ukuran loyalitas yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA


A. Aaker. 1992. “Managing The Most Important Asset; Brand Equity; Strategy & Leadrship”, September / Oktober 1992; 2005; ABI/INFORM Global pg.56.

Collin V. Sowter ,1997,”Marketing Management”, Erlangga Press. 1997.

Darmadi., Sugiarto & Budiman. 2004. "Brand Equity Ten: Strategi Memimpin Pasar". Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Darmadi., Sugiarto dan Tony Sitinjak. 2001. "Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek": Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.

Davis, Scott M, 2000, Brand asset Management: driving profitable growth through your brands, San Francisco California, Jossey Base, Inc.

Dewi, Kinorika. 2003, "Menciptakan Brand Equity Melalui Kepuasan Pelanggan". Jurnal. Janavisi. Vol. 6, No. 1.

Faircloth B. James; Louis M Capella; Bruce L. Alford, 2001, "The Effect of Brand Attitude and Brand Image on Brand Equity", Journal of Marketing Theory and Practice, Summer, 61-75.

Ferdinand, Augusty T., 2000, Manajemen Pemasaran Sebuah Pendekatan Strategik, Research Paper Series, Program Magister Manajemen, Universitas Diponegoro, Semarang.


Hidayat, Taufik, 2006, “ICSA index 2006: Pertaruhan Para Pemenang Kepuasan Pelanggan,” Majalah Swa, 20/xx/21/21 September – 4 Oktober 2006, Hal 31.

Humdiana., 2005. "Analisis Elemen-Elemen Ekuitas Merek Produk Rokok Merek Djarum Black". Jurnal Ekonomi Perusahaan., vol. 12, No. 1, Maret 2005.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 1999, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE. Yogyakarta.
Keller, K.L. 1993. "Conceptualization, Measuring, and Managing Customer­based Brand Equity". Journal of Marketing, Vol. 57, January, pp. 1-22

-------------------------,2003 , "Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brad Equity, 2th edition, New Jersey, Prentice Hall.

Kotler, Phillip, 1997, Manajemen Pemasaran, Jilid 2. Prenhalindo. Jakarta

Muafi., dan Irhas Effendi. 2001. "Mengelola Ekuitas Merek: Upaya Memenangkan Persaingan di Era Global". Jurnal. EKOBIS, Vol. 2, No. 3, September 2001, pp. 129-139.

Nicolino, Patricia. F. 2001. “The Complete Idiot's Guide to Brand Management”. Alpha Books, Indianapolis.

Park, Chan Su; Srinivasan, V., (1994), "A Survey-Based Method for Measuring and Understanding Brand", Journal of Marketing Research, Vol. XXXI, 271-288.

Peter Drucker,1997, ”Marketing Management” Lembang Empat, Jakarta.

Rangkuti, Freddy. 2002. The Power of Brand; Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.

Simamora, Bilson. 2002. "Aura Merek: Tujuh Jurus Membangun Merek yang Kuat". Jumal Ekonomi Perusahaan. 2002.

Sitinjak, Tony., Tumpal (2005), "Pengaruh Citra Merek dan Sikap Merek terhadap Ekuitas Merek', Jurnal Ekonomi Perusahaan, Vol. 12 No. 2 Juni, 2005.

Sugiarto., dan Ellen Christina. 2004. "Menyingkap Korelasi Elemen-Elemen Ekuitas Merek Sebagai Dasar Penetapan Strategi Pemasaran Produk". Jurnal Ekonomi Perusahaan, Vol. 11, No. 2, Juni 2004.

Supranto J. , 1993,”Metode Peramalan Kuantitatif untuk Perencanaan”, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., 1993.

Minggu, 01 Februari 2009

tesis

ANALISIS STABILITAS DAN EFEKTIVITAS MEKANISME TRANSMISI
LEWAT JALUR
JUMLAH UANG BEREDAR DAN KREDIT
DI INDONESIA







TESIS
Untuk memenuhi sebagai persyaratan
Mencapai derajat sarjana S-2

Program Studi
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan


Dumadi Tri Restiyanto
C4B006084


PROGRAM PASCA SARJANA
ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2008
Abstraksi

Mekanisme trasmisi kebijakan moneter bergerak melalui berbagai jalur, yaitu jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur kredit. Penelitian ini akan membandingkan jalur jumlah uang beredar dengan jalur kredit (Jalur Kuantitas) dalam efektifitas mekanisme transmisi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.
Dengan menggunakan Parsial Adjusment Model (PAM), membandingkan Persamaan fungsi Jumlah Uang Beredar (M1) dan fungsi kredit (L). Kemudian dari masing-masing persamaan (persamaan kuadrat terkecil) OLS tersebut, diperoleh variance residual masing-masing. Apabila variance residual-nya lebih kecil menunjukkan jalur ini lebih efektif dalam intermediasi, dalam hal ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDB).
Sebelum krisis moneter Jumlah Uang Beredar (M1) lebih efektif dari Kredit (L) dalam mekanisme transmisi moneter, ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar ( M1) lebih kecil dari kredit (L).
Sesudah krisis moneter kebijakan moneter pasca krisis dianggap mampu mengembalikan kestabilan moneter. Kredit lebih efektif dari Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) lebih besar dari kredit sesudah krisis moneter.

Kata Kunci : Jumlah Uang Beredar (M1), Kredit (L) , Variance Residual, Mekanisme Transmisi.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah
Krisis moneter tahun 1997 menyebabkan kondisi perbankan Indonesia mengalami situasi yang sangat sulit. Perbankan mengalami kesulitan likuiditas akibat Bank Runs, akibat turunnya nilai rupiah (depresiasi) terhadap dollar Amerika. Kesulitan likuiditas ini dibuktikan dengan tidak mampunya bank melayani permintaan uang dari masyarakat secara likuid, mengakibatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan pada waktu itu menjadi rendah. Akibat kesulitan likuiditas tersebut bank-bank mengalami kendala keuangan, bahkan banyak yang kalah kliring, sehingga banyak bank yang mengalami kebangkrutan.
Penarikan dana masyarakat akibat turunnya nilai tukar rupiah, ditandai dengan harga Dollar yang mencapai nilai 14.900 rupiah (lihat Grafik 1.1). Akibatnya adalah bank-bank tidak mampu melayani penarikan uang dari nasabah mereka. Peristiwa di atas dinamakan krisis likuiditas, dan penarikan besar-besaran dana masyarakat ini dinamakan dengan Bank Runs. Kepanikan ini mengakibatkan terjadinya efek karambol, yang mengakibatkan banyak bank tidak mampu menyelesaikan kewajibannya, baik di pasar uang antar bank (PUAB), ataupun kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh bank. Ketidakmampuan memenuhi kewajibannya ini mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat pada bank.
Grafik 1.1

Sumber BI, diolah
Bank Runs mengakibatkan ketidakseimbangan di pasar uang, dimana permintaan uang cukup tinggi, sedangkan penawaran uang terus merosot. Bank-bank yang tidak mampu memenuhi kewajibannya harus gulung tikar, akibatnya kerugian banyak dialami oleh nasabah. (HLB Hadlori, 2002) Guna mengembalikan kepercayaannya, maka bank-bank umum di bawah kendali Bank Indonesia mengambil tindakan yang hati-hati di dalam mengelola likuiditas keuangan mereka. Bentuk kehati-hatian tersebut berupa penerapan manajemen perbankan dengan berbasis manajemen resiko yang cukup ketat.
Kehati-hatian ini memunculkan ketidakseimbangan baru. Ketidakseimbangan baru ini disebut Credit Crunch. Credit Cruch menyebabkan permintaan kredit lebih besar dari penawaran kredit, berakibat bank lebih banyak menyimpan dana mereka dalam bentuk Obligasi Pemerintah. Pada kenyatannya sebagian besar aset bank-bank diinvestasikan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) dan Surat Utang negara (SUN). Keputusan ketiga portopolio tersebut diambil karena bobot resiko dalam Bassel I, II, III adalah sama dengan nol. Ketiga aset/kekayaan tersebut akan meningkatkan Capital Adequacy Rasio (CAR) yang tinggi, menyebabkan prasyarat kesehatan perbankan.
Loan to Deposit Rasio (LDR) hanya 51 persen pada bulan Maret 2005, artinya dana pihak ketiga yang disalurkan menjadi kredit hanya 51 persen saja, berarti bahwa setiap kegiatan perbankan nasional hanya berupa penjualan dan pembelian obligasi negara, dan bukan memberi kredit bagi kebutuhan dunia usaha. Pemberian kredit banyak digunakan untuk belanja konsumsi rumah tangga, dan bukan untuk kebutuhan investasi. Kredit seperti ini sangat rentan terhadap kenaikkan suku bunga, yang dalam jangka panjang dapat menambah kredit macet. (Anwar Nasution, 2006) Kondisi tersebut akan mengakibatkan kredit perbankan yang dikucurkan tidak mendorong tingkat pendapatan riil.
Credit Crunch menjadi hambatan besar dari fungsi intermediasi perbankan, yaitu berupa penurunan kredit yang dapat diperoleh masyarakat. Kredit tersebut banyak digunakan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Padahal kebutuhan pertumbuhan kredit perbankan adalah sebesar 22 persen setiap tahunnya. Hal ini diperlukan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5-6% per tahun. Pada kenyataannya potensi permodalan perbankan saat ini hanya sanggup untuk mendorong pertumbuhan kredit maksimum 16% saja. (Agus Sugiarto, 2004) Jadi masih diperlukan pertumbuhan 6% kredit perbankan untuk memacu target pertumbuhan ekonomi tersebut.
Credit crunch merupakan fenomena terjadinya ketidakseimbangan di pasar kredit yang disebabkan oleh faktor-faktor sisi penawaran pada bank, dan sisi permintaan debitur, ataupun kondisi ekonomi dan moneter yang berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan, khususnya kebijakan moneter. (Perry Warjiyo, 2007)
Secara mikro, credit crunch dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, mengingat sumber pembiayaan dunia usaha bergantung pada kredit bank. Credit crunch yang terus berlangsung dapat mengakibatkan second round effect (efek babak kedua) pada kegagalan bisnis dunia usaha, yang pada akhirnya kembali memperburuk kualitas pinjaman bank dan berisiko terjadi kembali krisis moneter. Bagi kepentingan pengendalian moneter, credit crunch memiliki implikasi terhadap efektifitas pengendalian moneter. Hal ini akibat dari respon perbankan dalam mentransmisikan sinyal kebijakan moneter terhadap berbagai aktifitas keuangan dan ekonomi tidak seperti yang menjadi harapan Bank Sentral. (Perry Warjiyo, 2007)
Prinsipnya pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari efek pertumbuhan kredit, sehingga dibandingkan dengan pertumbuhan uang terlihat bahwa pertumbuhan kredit lebih kuat dalam menjelaskan besarnya pertumbuhan pendapatan nasional. (HLB Hadori dan Rekan, 2002)
Hambatan kredit didorong oleh penurunan daya beli masyarakat, di mana pertumbuhan pendapatan selalu lebih rendah dari pertumbuhan tingkat suku bunga, baik SBI maupun suku bunga kredit dari tahun 1990 sampai 2006.

Tabel 1.2
Data Pertumbuhan PDB, suku bunga SBI dan kredit
sebelum dan sesudah krisis




Sumber BI, diolah
Perjalanan pertumbuhan pendapatan terlihat cukup mendatar, namun pertumbuhan inflasi, suku bunga SBI dan suku bunga kredit mengalami gejolak yang cukup luar biasa di tahun 1997 kuartal III sampai dengan 1998 Kuartal IV diikuti dengan tidak ada gejolak pertumbuhan pendapatan nominal dari tahun yang sama.


Tabel 1.3
Inflasi , pertumbuhan PDB, suku bunga SBI dan kredit


Sumber BI, diolah
Tahun-tahun tersebut merupakan situasi sulit, ditandai dengan adanya gejolak moneter yang tidak stabil diiringi dengan krisis moneter dan krisis likuiditas. Suku bunga dan inflasi tidak terkendali. Tanpa dorongan pendapatan nominal untuk mengimbangi kedua hal tersebut mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat. Sedangkan tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata lebih rendah dari tingkat bunga kredit investasi dari tahun 1990 sampai akhir 2006, artinnya bahwa pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari investasi dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan untuk tidak memenuhi kewajiban membayar suku bunga kredit.
Penelitian yang dapat menjelaskan dan menerangkan sejauh mana kebijakan moneter dan stabilitas perbankan secara makro dan mikro ekonomi dalam penyaluran kredit sangat diperlukan. Penggunaan model Quantum Channel yang merupakan gabungan Credit Channel dan Money Channel, akan diterapkan dalam analisis data, guna menerangkan dan mendapatkan kesimpulan yang tepat. Jalur mekanisme transmisi dengan Quantum Channel langsung mempengaruhi tingkat suku bunga sebagai intermediate target, kemudian mempengaruhi investasi dan sektor riil berdasarkan berjalannya transmisi perbankan.
Dalam hal ini akan dilakukan studi empiris secara runtut waktu (time series) dari tahun 1990 sampai masa sebelum krisis tahun 1997 dan sejak krisis tahun 1997 sampai tahun 2006 menggunakan data kuartalan.

1.2Rumusan Masalah
Krisis perbankan di Indonesia tahun 1997 melahirkan beberapa permasalahan stabilitas moneter dan intermediasi perbankan. Sehingga perlu adanya strategi-strategi kebijakan moneter BI untuk mengatasi krisis moneter. Beberapa peneliti sebelumnya meneliti tentang stabilitas jalur moneter dan kredit guna melihat efektifitasnya dalam mekanisne transmisi, dengan hasilsebagai berikut:
Berdasarkan data time series dari tahun 1990:1 sampai 2000:4 dengan menggunakan variabel dependen Jumlah Uang Beredar (M1) dan Kredit dengan mengacu pada model Bernanke-Blinder.
a.Sebelum krisis moneter (1990:1 sampai 1997:3) volatilitas M1 lebih besar dari kredit. Artinya Kredit lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.
b.Sesudah krisis moneter (1990:4 sampai 2000:4) volatilitas Kredit lebih besar dari M1. Artinya Jumlah Uang Beredar lebih efektif dalam meingkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.
Sebagai perbandingan ideal dari kondisi Indonesia tersebut penulis membandingkan kondisi tersebut dengan Amerikat Serikat. Perbandingan dilakukan dengan meninjau penelitian yang dilakukan oleh Bernanke–Blinder (1998) dengan Variabel Jumlah uang beredar (M1) dan Kredit (L) dari tahun 1974:1 sampai 1985:4, dengan kesimpulan bahwa:
a.Pada paruh pertama data berkala yaitu tahun 1974:1 sampai tahun 1979:3 volatilitas kredit lebih besar dari Jumlah Uang Beredar (M1). Artinya Jumlah uang beredar lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b.Pada paruh kedua data berkala yaitu tahun1979:4 sampai tahun 1985:4 volatilitas Kredit lebih kecil dari Jumlah Uang Beredar ( M1). Artinya bahwa kredit lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Implikasi kebijakan pemerintah untuk menangani kredit lebih signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan PDB di Amerika Serikat. Artinya di Indonesia setelah krisis moneter tingkat kredit tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian HLB Hadlori (2002) bahwa yang terjadi di Indonesia, justru setelah krisis moneter volatilitas kredit lebih besar dari penawaran uang.
Tujuan Penelitian
Penelitian tentang stabilitas Quantum Channel di dalam intermediasi di Indonesia diteliti dengan tujuan :
1.Menganalisis stabilitas Jalur Kredit dan Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
2.Sejauh mana efektivitas antara Jumlah Uang Beredar(M1) dan Kredit (L) sebelum krisis dan sesudah krisis moneter dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.
3.Menguji secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi Jumlah Uang Beredar (M1) dan Kredit sebelum dan sesudah krisis, yaitu :
a.pengaruh PDB terhadap M1.
b.inflasi terhadap M1.
c.suku bunga terhadap M1.
d.pengaruh PDB terhadap kredit.
e.Inflasi terhadap kredit.
f.suku bunga SBI terhadap kredit.
g.suku bunga kredit terhadap kredit.
1.3Kegunaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan berguna untuk :
1.Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter adalah untuk menganalisis secara empiris pelaksaaan kebijakan moneter melalui instrumen kebijakan moneter yang dukeluarkan Bank Indonesia dalam pengendalian stabilitas sistem Moneter.
2.Bank Umum baik Negeri atau Swasta baik asing maupun nasional adalah untuk menjalankan fungsinya dengan tepat, baik sebagai lembaga intermediasi dan lembaga profit akan mampu untuk melakukan ekspektasi-ekspektasi serta mampu merespon kebijakan moneter.
3.Dunia pendidikan dan para peneliti yang tertarik untuk meneliti kajian yang sama dalam bidang moneter dan perbankan, diharapkan penelitian ini menjadi salah satu masukan bagi masalah-masalah yang muncul dalam fenomena moneter dan menambah wawasan mengenai dunia moneter dan perbankan dalam penelitian berikutnya sebagai batu pijakan yang tepat dan benar.

1.4Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan dalam penulisan tesis ini mengacu pada buku pedoman penulisan tesis yang berlaku di program Magister Ilmu Ekonomi dan stusi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang, bahwa laporan penelitian untuk tesis ini disusun dalam 5 (lima) bab yang mencakup materi sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian serta sistematika yang digunakan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran Teoritis
Berisi uraian tentang telaah pustaka untuk melandasi penelitian, review penelitian terdahulu, kerangka pemikiran teoritis, hipotesis penelitian dan definisi operasional variabel.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini diuraian mengenai jenis dan sumber data, populasi dan prosedur penentuan sampel, metode pengumpulan data, analisis data, deskripsi statistik variabel, uji asumsi klasik, serta teknik analisis.
Bab IV Gambaran Umum dan Analisis Data
Pada bab ini terdiri dari gambaran umum obyek penelitian, deskripsi statistik variabel, uji Asumsi Klasik, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V Penutup
Dalam bab ini dibahas tentang kesimpulan hipotesis, keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian mendatang.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA
PEMIKIRAN TEORITIS

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Stabilitas Sistem Perbankan dan Kebijakan Moneter.
Stabilitas sistem perbankan dan sistem moneter merupakan dua aspek yang saling terkait dan menentukan satu sama lain. Stabilnya sistem perbankan secara umum dicerminkan dengan kondisi perbankan yang sehat dan berjalannya fungsi intermediasi perbankan dalam memobilisasi simpanan masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Apabila kondisi ini terpelihara, maka proses perputaran uang dan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam perekonomian yang sebagian besar berlangsung melalui sistem perbankan juga dapat berjalan dengan baik. Stabilnya sistem perbankan akan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter. (Perry Warjiyo, 2007)
Bank Sentral memiliki peranan yang penting dalam perekonomian di suatu negara. Bank sentral memiliki dua tujuan pokok, yaitu :
1.Menjaga stabilitas harga dan memacu pertumbuhan ekonomi.
2. Menjaga stabilitas nilai tukar dan stabilitas keuangan.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter, seperti jumlah uang beredar, uang primer, kredit perbankan dan suku bunga untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan. Kebijakan moneter itu sendiri saling berkaitan satu sama lain, dan memungkinkan terjadinya trade off dalam penerapannya. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro yang dicerminkan oleh stabilitas harga (inflasi rendah), membaiknya pertumbuhan ekonomi serta luasnya lapangan kerja.
Efektifitas kebijakan moneter ini sangat berperan dalam menjalankan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi, dan fungsi bank sentral sebagai pengendali stabilitas moneter. Dengan menggunakan berbagai macam instrument Bank sentral berfungsi sebagai lembaga stabilisator makro ekonomi, dan bank umum dari sisi mikro ekonomi menjaga stabilitas moneter.
Kebijakan moneter adalah kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian moneter dan atau suku bunga untuk mencapai perkembangan kegiatan ekonomi yang diinginkan. Besaran moneter (stock money) dapat berupa uang beredar dalam arti sempit dan dalam arti luas, uang primer atau kredit perbankan. Kebijakan moneter merupakan kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian (tertutup atau terbuka), serta faktor-faktor fundamental lainnya.
Kondisi perbankan sangat berpengaruh besar terhadap bekerjanya dan efektivitasnya saluran transmisi moneter khususnya jalur moneter, jalur kredit, dan jalur suku bunga.
Dalam kondisi dimana kesehatan dan stabilitas perbankan terjaga dan berkembang kuat, ketiga jalur transmisi ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Akan tetapi, dalam kondisi ketika perbankan sedang mengalami sejumlah permasalahan, sehingga proses intermediasi keuangan maupun pasar keuangan tidak berjalan normal, maka perilaku ketiga jalur transmisi moneter tersebut menunjukkan perbedaan yang berarti. (Perry Warjiyo, 2007)
Proses intermediasi ini merupakan fungsi dan tugas perbankan, namun di sisi lain perbankan juga harus menjaga likuiditasnya, karena bank harus menghadapi berbagai resiko yang harus dihadapi dan perlu diantisipasi karena menghadapi ketidak pastian di masa datang.
Stabilitas sistem moneter dan perbankan sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk melakukan estimasi-estimasi atau prediksi–prediksi yang harus dilakukan perbankan dalam menghadapi resiko-resiko perbankan, terutama resiko pasar.
Pencapaian sasaran kestabilan moneter dapat didukung oleh pencapaian kesehatan dan kestabilan perbankan melalui beberapa aspek. Sistem perbankan yang sehat diperlukan agar sinyal kebijakan moneter dapat ditransmisikan secara efektif ke berbagai aktifitas ekonomi.
Apabila kondisi bank-bank rentan, bank sentral jelas akan mengalami kesulitan untuk menilai keterkaitan instrumen kebijakan moneter yang ditempuhnya dengan arah kinerja perekonomian yang diinginkan, sehingga akan mempersulit perumusan kebijakan moneter yang akan ditempuh. Dengan kondisi perbankan yang memburuk, efektivitas kebijakan moneter juga akan terhambat karena bank-bank tidak akan mampu merespon sinyal kebijakan moneter secara baik. (Perry Warjiyo, 2007)
2.1.2Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter menggambarkan bagaimana kebijakan mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar atau tingkat bunga dalam jangka pendek berdampak pada variabel riil yang terdiri dari Pengeluaran Agregat. Jalur dalam transmisi kebijakan moneter beroperasi melalui efek yang berupa kebijakan suku bunga, portopolio, kekayaan, pinjaman bank, dan neraca perusahaan.(Peter N. Ireland, 2005)
Seperti diuraikan di atas, salah satu kekhususan perbankan terkait erat dengan perannya dalam proses penciptaan uang di dalam perekonomian yang mayoritas melalui sitem perbankan. Dengan peran seperti ini, kondisi perbankan akan menentukan seberapa besar efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dapat mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan. (Perry Warjiyo, 2007) Bank sentral memasukkan dua komponen penting dari uang inti yaitu uang kartal dan cadangan bank.
Dimana, bank sentral mengawasi uang inti. Bentuk aksi kebijakan moneter adalah dengan dimulai ketika bank sentral mengubah uang inti melalui operasi pasar terbuka, membeli berbagai macam sekuritas, selebihnya obligasi pemerintah untuk menaikkan uang inti atau menjual sekuritas untuk menurunkan uang inti. (Peter N. Ireland, 2005)
Tindakan itu kemudian berpengaruh terhadap aktifitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai jalur transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur uang, kredit, dan suku bunga, yang pada umumnya berlangsung melalui sistem perbankan.
Beberapa kajian terdahulu menyimpulkan bahwa transmisi kebijakan moneter jalur moneter melalui uang primer atau uang inti (M0) dan uang beredar (M1) dan (M2) masih dipandang cukup relevan saat ini. Temuan penting yang ada saat ini adalah adanya jalur kredit. Bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh perubahan struktural dan kebijakan ekonomi keuangan yang telah diterapkan tersebut.
Keterkaitan kebijakan moneter dengan perbankan tersebut melalui dua tahap transmisi moneter dalam proses perputaran uang (Perry Warjiyo, 2007).
1. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan dalam berbagai transaksi pasar uang yang berkaitan dengan operasi moneter bank sentral dalam manajemen likuiditas perbankan.
2. Interaksi antara perbankan dengan para pelaku ekonomi di sektor riil dalam proses intermediasi keuangan dalam berbagai aktivitas ekonomi baik dalam bentuk penerimaan simpanan dari masyarakat atau penyaluran kredit kepada dunia usaha.
Jalur-jalur mekanisme transmisi didefinisikan dalam beberapa pendekatan oleh para ekonom moneter. Sebagian besar membaginya dalam empat jalur utama, yaitu :
1.jalur tingkat suku bunga (traditional interest rate),
2.jalur kredit (credit channel/ credit view),
3.Jalur nilai kekayaan (asset price channel), dan
4.jalur nilai tukar (exchange rate channel), walaupun sebagian ekonom memasukkan dalam exchange rate channel dalam asset price channel.
Reddy (2002) membagi jalur tersebut dalam pengelompokan yang sedikit berbeda, yaitu:
1.Quantum Channel , jalur ini terdiri dari money supply (money Channel) dan credit channel
2. interest rate channel dan asset price channel.
Walaupun demikian, maksud dari jalur-jalur tersebut adalah sama meskipun berbeda dalam pengklasifikasian. (HLB Hadori, dan rekan, 2002).
Quantum Channel menjadi jalur paling dominan dalam mekanisme transmisi karena langsung mempengaruhi :
1.tingkat suku bunga sebagai sasaran antara untuk kemudian kemudian mempengaruhi tingkat investasi dan
2.sektor riil secara umum berdasarkan berjalannya mekanisme transmisi perbankan.
Pengkajian mekanisme transmisi kebijakan moneter di dunia terus dilakukan. Hal tersebut dilakukan tidak saja karena mekanisme transmisi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian dan sektor keuangan, akan tetapi juga untuk terus meningkatkan efektifitas kebijakan moneter.
2.1.3 Intermediasi Perbankan dan Efektifitas Kebijakan Moneter
Tantangan utama bagi kebijakan moneter pasca krisis di Indonesia adalah kurang efektifnya kebijakan moneter dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi. Permasalahan itu terutama berakar dari kondisi neraca perbankan yang masih belum sepenuhnya normal dan belum pulihnya intermediasi perbankan. (Burhanudin Abdullah, 2005)
Permasalahan ini menimbulkan dua penyakit kronis dalam sistem moneter yaitu :
1.Perbankan tergantung pada sumber pendapatan dari surat-surat berharga seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan obligasi pemerintah.
2.Perbankan dalam kondisi kelebihan likuiditas yang dapat mengancam stabilitas nilai tukar.
Dampaknya adalah biaya pengendalian moneter oleh Bank Indonesia menjadi mahal. Dalam kondisi demikian, kenaikan suku bunga SBI untuk mengurangi inflasi dan menstabilkan nilai tukar seringkali tidak direspon oleh kenaikan suku bunga deposito perbankan dengan seimbang. Karena perbankan cenderung memanfaatkan momentum kenaikan suku bunga SBI tersebut untuk mendapatkan margin keuntungan dari selisih antara suku bunga SBI dan obligasi variabel rate sebagai instrumen penempatan dan deposito sebagai instrumen dana.
Kondisi ini menyebabkan kebijakan moneter untuk menyerap kelebihan likuiditas di masyarakat dan dalam rangka menjaga paritas tingkat bunga menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan kontraksi moneter dan meningkatkan suku deposito diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, kebijakan moneter perlu diterapkan secara hati-hati, dan terukur untuk mencapai sasaran moneter dalam rangka menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menambah tekanan terhadap inflasi dan melemahnya nilai tukar. Namun di sisi lain, upaya penyerapan ekses likuiditas tersebut agar efektif memerlukan perubahan stance kebijakan yang drastis yang dapat mengganggu momentum pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Rendahnya efektifitas kebijakan moneter juga terjadi pada saat kebijakan moneter bersifat ekspansif melalui penururunan suku bunga. Penurunan suku bunga SBI yang diharapkan dapat mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit belum diikuti oleh penurunan suku bunga kredit secara signifikan. Faktor utama yang mempengaruhi kekakuan suku bunga kredit ini adalah sebagai konsekuensi dari pendapatan perbankan yang masih didominasi oleh pendapatan suku bunga obligasi. Turunnya suku bunga obligasi bagi para pemegang obligasi variabel rate akan menurunkan pendapatan perbankan sehingga bank cenderung mempertahankan pendapatannya dengan menahan penurunan suku bunga kredit.
Belum pulihnya fungsi intermediasi yang berakibat pada kelebihan likuiditas perbankan juga menyebabkan pengelolaan moneter menjadi tidak efisien. Bank lebih tertarik menanamkan kelebihan likuiditasnya pada asset yang aman seperti SBI dan Bank Indonesia harus membayar bunga atas SBI tersebut. Pembayaran bunga ini juga berarti menambah likuiditas lagi ke dalam sistem perbankan yang harus diserap lagi untuk menjaga likuiditas tidak berlebihan.
Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan fungsi intermediasi perbankan harus dilakukan secara komprehensif melihat anatomi permasalahan yang dihadapi. Dari pengamatan beberapa tahun ini, ada empat dimensi pokok yang menjadi kunci pemulihan intermediasi menurut Burhanudin Abdullah (2005), yaitu :
1.Stabilitas ekonomi makro yang tercermin dari inflasi yang rendah, nilai tukar yang relatif stabil, dan suku bunga yang kondusif bagi perbankan dan sektor dunia usaha.
2.Struktur keuangan perbankan yang sehat dan regulasi perbankan yang kondusif bagi perbankan dalam menyalurkan kredit.
3.Struktur dunia usaha yang sehat sehingga meningkatkan kualitas debitur.
4.Infrastruktur dan iklim investasi yang mendukung bagi esktor riil.
2.1.4 Bank Runs
Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya bank runs. Teori pertama menyebutkan bahwa bank runs terjadi karena proses self-fulfilling akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap bank. Tidak terdapatnya informasi yang sempurna mengenai kondisi bank oleh nasabah (assymetrics informations) mengakibatkan penarikan uang yang terjadi pada salah satu bank akibat ketidak percayaan memicu nasabah lain untuk menarik dananya atau cepat menjalar (contagion) ke bank lain atau krisis perbankan. Penarikan dana secara bersamaan itu merupakan strategi yang optimal bagi nasabah khususnya dalam kondisi tidak terdapatnya sistem penjaminan terhadap dana nasabah di bank.
Teori kedua menyebutkan bahwa bank runs dan krisis perbankan yang terjadi terkait erat dengan kondisi fundamental perbankan dan kondisi ekonomi suatu negara. Dalam hal ini bahwa bank runs dari proses self-fulflling tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi terjadi dengan memburuknya kondisi keuangan bank baik yang berasal dari pengelolaan usaha yang tidak baik (moral hazard) maupun yang berasal dari memburuknya kondisi ekonomi . Kondisi keuangan bank yang buruk akan mengakibatkan bank tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabah dan selanjutnya kondisi tersebut akan mengurangi kepercayaan terhadap bank. Ketidak percayaan terhadap bank akan mendorong nasabah menarik dananya secara bersamaan dan selanjutnya dapat menimbulkan resiko sistemik ke bank lainnya(banking crisis). (Iskandar Simorangkir, 2003)
Bank runs yang berupa penarikan dana pada bank oleh masyarakat inilah yang mengakibatkan terganggunya likuiditas bank. Sedangkan dana yang dipegang oleh bank tidak semuanya disimpan dalam kas, namun juga digunakan untuk melakukan kegiatan keuangan lainnya seperti pembelian obligasi dalam hal ini SBI dan asset-asset jangka pendek lainnya seperti saham dan valuta asing, namun juga untuk penggunaan asset dan investasi jangka panjang yaitu kredit baik berupa kredit konsusmsi, investasi dan modal kerja yang tidak dapat dengan mudah untuk ditarik kembali.
Paling tidak ada dua jenis pengalihan atau penarikan dana masyarakat ketika kepercayaan terhadap sistem perbankan menurun yaitu pengalihan kepada bank atau lembaga keuangan lain yang lebih dipercaya, atau mengalihkannya dari sistem perbankan baik dalam bentuk konversi ke uang kartal atau menanamkannya investasi, bank atau lembaga keuangan luar negeri. Kedua hal itu melahirkan dampak yang berbeda pada sektor perbankan. (HLB Hadori dan Rekan, 2002)
Peristiwa bank runs inilah yang menyebabkan kehati-hatian bank yang cukup tinggi, sehingga fungsi intermediasi bank menjadi terganggu, akibat pengalaman masa lalu bank lebih bersikap risk averse.
Semua krisi yang berat memiliki karakteristik sistem keuangan yang memilik proporsi NPL (non-performing loans) dan rendahnya kepercayaan, tingginya DER ( debt-equity ratio) dari perusahaan. Tingginya tingkat NPL (non-performing loans) akan mengakibatkan kebangkrutan lembaga keuangan dan hilangnya kepercayaan dari investor. Gerak Bebas dari Modal, Pelarian Modal (capital flight) akan terjadi, dan tekanan devaluasi akan meningkat.
Dengan sistem keuangan yang sehat , bank runs dan Capital flights biasanya tidak akan terjadi., dan tidak akan terjadi krisis keuangan. Ketika krisis keuangan terjadi, dalam suatu kondisi, otoritas moneter dapan menaikan tingkat suku bunga untuk mempertahankan stabilitas moneter. Pemerintah tidak dapat mencegah peristiwa atau kejadian dimana kenaikan tingkat suku bunga mengakibatkan capital flights dan mencegah perang spekulasi internasional. Tingkat bunga yang tinggi akan mengakibatkan resesi. Meskipun, dalam kondisi normal, krisis relatif lebih baik dibanding ketidakpastian dan ketidak terkendalinya krisis keuangan dan krisis cadangan sebagai dampaknya.
Pasalnya credit/bank runs ini adalah akibat ketidak percayaan masyarakat yang cukup besar terdapat perbankan sehingga mereka secara besar-besaran pula menarik dananya dari perbankan untuk dialihkan pada bentuk-bentuk kekayaan yang lain berupa barang, emas, tanah, investasi lngsung dan sebagainya. Akibat bank runs ini dapat menyebabkan krisis likuiditas perbankan yang bisa mengakibatkan kepailitan atau kebangkrutan bank. Akibat dari kebangkrutan ini adalah merugikan masyarakat dan beban bagi pemerintah yang cukup berat.
2.1.5 Credit Crunch
Fenomena credit crunch terjadi dalam perbankan Indonesia dengan terkendalanya penyaluran kredit, khususnya pada periode awal terjadinya krisis. Credit crunch merupakan fenomena terjadinya ketidakseimbangan (disequillibrium) di pasar kredit yang disebabkan oleh faktor-faktor di sisi penawaran kredit perbankan, sisi permintaan dari debitur, ataupun kondisi ekonomi dan moneter yang berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan, khususnya kebijakan moneter.( Perry Warjiyo, 2007) Kebijakan moneter berdampak pada pasar kredit melalui pengaruhnya terhadap pembentukan ekspektasi perbankan maupun debitur atas arah pergerakan variabel-variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan suku bunga dalam menganalisis permintaan kredit.
Dalam rumusan kebijakan adalah penting untuk memahami fenomena credit crunch, jika muncul. Kenyataannya penawaran agregat dari kredit tidak dapat menurun dengan sendirinya, implikasinya adalah terjadi credit crunch. Secara simultan mengalami penurunan besar-besaran dalam permintaan yang merespon penurunan permintaan untuk produksi perusahaan, sepertinya, penetapan atau penentuan tingkat bunga, ekses penawaran, lebih dari penurunan kredit. Jika , meskipun , ekses permintaan dari kredit, yang mengukur kenaikan likuiditas cadangan dan dapat juga berdampak pada rendahnya tingkat bunga. ( Dominique Dwor-Frecaut; Mary Hallward-Driemeier; Francis X. Colaço, 1999)
Secara makro credit crunch dapat menghambat pertumbuhan ekonomi mengingat sumber pembiayaan dunia usaha sangat tergantung pada kredit perbankan. Credit crunch yang terus berlangsung akan dapat memberikan second round effect (efek babak kedua) pada krisis dunia usaha, yang akan memperburuk pinjaman bank dan resiko terjadinya krisis keuangan baru. Bagi kepentingan pengendalian moneter credit crunch memiliki efektivitas pengendalian moneter karena respon perbankan dalam mentransmisikan pengaruh sinyal kebijakan moneter terhadap berbagai aktivitas keuangan dan ekonomi tidak seperti yang diharapkan bank sentral.
Kenyataanya rasionalisasi dari kredit oleh perbankan juga tidaklah mudah dimengerti tentang credit crunch. Sepertinya rasionalisasi memungkinkan reflect banks tidak menginginkan untuk memberikan pinjaman, sebab mereka tidak memiliki cukup modal dengan sebagain besar portofolio mengalami kredit macet. Dalam banyak kasus, ekpansi likuiditas tidaklah menjadi jawaban. Yang hanya memiliki efek yang mempengaruhi perbankan untuk melebarkan portofolio tabungan mereka. Memperburuk permasalahan mereka dalam kecukupan modal. Yang akan menyebabkan kebutuhan jangka panjang dalam menghitung restrukturisasi perbankan yang disebut dengan krisis. Kemungkinan, meskipun ketika tingkat suku bunga tinggi, dimana pilihan hati-hati dan persepsi atau pemahaman yang tepat dari lembaga penjamin resiko pinjaman. Yang dapat melahirkan keduanya, sebab informasi yang tidak sempurna tentang kebenaran kualitas perusahaan dan proyek atau ketepatan dalam kehati-hatian mengambil resiko dari lembaga peminjaman. Dalam banyak kasus, perbaikan dalam keterbukaan dan ketepatan informasi, melalui perbaikan akuntansi dan auditing, dapat memperkecil munculnya resiko. Juga perbaikan perusahaan, seperti perubahan pembenahan hukum dari kebankrutan dan kepailitan, dan merger serta akuisisi, dapat memfasilitasi perbaikan perusahaan dan restrukturiasi perbankan.
Fernomena credit crunch ditegaskan oleh Perry Warjiyo (2007) adalah mempunyai dua implikasi yang sangat penting bagi kebijakan moneter. Seperti berikut ;
1. Efektivitas kebijakan moneter menjadi terkendala karena tidak berjalannya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui perbankan. Hal ini terutama disebabkan karena penyaluran kredit perbankan tidak banyak ditentukan oleh pergerakan suku bunga akan tetapi lebih didorong oleh faktor-faktor seperti pilihan yang hati-hati dan resiko dunia usaha.
2. Dalam kondisi lemahnya keuangan perusahaan, pengaruh kebijakan moneter dapat bersifat asimetris.
Credit crunch akan menghambat investasi yang pada akhirnya akan mengakibatkan terganggunya sumber pendapatan nasional dan bisa mengakibatkan terganggunya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Karena kontraksi yang tidak wajar dari moneter akan mengakibatkan kerugian pemerintah, karena dana yang mandek ini lebih banyak disimpan di Bank Indonesia, yaitu dalam bentuk SBI yang dapat menyebabkan beban bagi pembayaran bunga SBI, sebesar tingkat bunga yang ditentukan.
2.1.6 Dampak Kebijakan Moneter yang Asimetri
Pasca krisis kondisi perbankan dan swasta masih relatif lemah, kebijakan moneter yang kontraktif dan ekspansif memiliki dampak asimetris. Kebijakan yang ekspansi tidak banyak berdampak pada sektor riil karena bank tidak merespon dengan menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong investasi. Namun kebijakan moneter yang kontraktif relatif lebih kuat mempengaruhi penurunan kredit bank dan kenaikan suku bunga kredit sehingga lebih kuat dampaknya pada sektor riil. Selain itu, dengan kondisi struktur finansial yang lemah, pengetatan kebijakan moneter juga mengakibatkan dampak pelemahan berganda, tidak hanya mengakibatkan biaya modal semakin tinggi, tetapi juga berdampak pada kondisi cash flow sektor korporasi. Semakin bergandanya dampak kebijakan moneter pada sektor riil, disebut dengan fenomena akselerator. Implikasinya, kebijakan moneter yang kontraktif perlu dilakukan lebih berhati-hati terutama dalam fase pemulihan mengingat dampaknya pada kontraksi perekonomian seringkali lebih besar dari yang diperkirakan.
2.1.7 Model Bernanke-Blinder
Kurva LM dalam kondisi keseimbangan portofolio untuk dua aset kepemilikan dalam memilih memegang uang atau obligasi. Model Bernanke-Blinder memiliki 3 aset yaitu uang, obligasi, dan pinjaman(kredit). Hanya pasar kredit membutuhkan penjelasan lebih dalam.Asumsinya bahwa antara penabung dan peminjam memilih antara obligasi dan kredit melalui besarnya suku bunga dalam dua instrumen kredit. Jika ρ adalah suku bunga kredit dan i adalah suku bunga obligasi, maka permintaan kredit adalah Ld=L(ρ,i.y) tergantung pada GNP (y) menangkap transaksi permintaan dari kredit meningkat, untuk modal kerja atau pertimbangan likuiditas.
Untuk memahami asal usul dari penawaran kredit menganggap neraca bank secara sederhana seperti berikut :
Assets
Liabities
Reserve (R)
Deposite (D)
Bonds (BD)

Loans (LS)


Sejak cadandan (Reserve) terdiri dari RR (Requered Reserves) ditambah ER (excess Reserve), bank terpaksa menaikkan dalam : BD+LS+ ER = D(1-RR). Asumsinya bahwa keinginan pembagian portofolio tergantung pada tingkat pendapatan dari aset yang dimiliki/tersedia ( untuk ER = 0), fungsi penawaran kredit adalah
LS = λ (ρ,i)D(1-RR) (2.1)
Tingkat bunga kredit (ρ) bertanda negatif, dan tingkat bunga obligasi (i) bertanda positif, dengan persamaan yang sama untuk membagi Bb dan ER. Kondisi tersebut untuk lebih jelasnya dalam pasar kredit adalah :
L(ρ,i,y) = λ(ρ,i) D (1-RR) (2.2)
Permintaan uang dibambarkan dalam kurva kurva LM konfensional, Andaikata bank memegang persamaan dalam ε(i)D(1-RR). Bahwa penawaran deposito adalah sama dengan cadangan (R), waktu pengganda uang berupa :
m(i) = (ε(i)(1-RR)+RR))-1 (2.3)
Permintaan deposito meningkat dari motif transaksi dan menggantungkan pada suku bunga, pendapatan, dan total kekayaan, D(i,y), dalam persamaan berikut :
D(i-,y+) = m(i+) R (2.4)
Secara tersirat, D(i,y) dan L(ρ,i,y) menentukan fungsi permintaan masyarakat bukan untuk obligasi adalah permintaan uang di tambah permintaan obligasi dikurangi permintaan kredit harus sama dengan total kekayaan finansial.
Pasar uang dalam kurva IS, umumnya dituliskan sebagai berikut :
Y = Y(i,ρ) (2.5)
Dengan mengambil persamaan (2.4) menganti D(1-RR) ke samping kanan dari persamaan (2.3) dengan (1-RR)m(i)R. Bahwa persamaan (2.3) dapat diselesaikan untuk ρ seperti fungsi dari i,y, R.
Ρ = Φ(i+,y+,R-) (2.6)
Akhirnya mengubah persamaan (2.6) ke dlam persamaan (2.5) diperoleh fungsi :
Y = (i, Φ(i,y, R)) (2.7)
Persamaan 2.7 dalam tulisan Don Patinkin (1956) disebut kurva CC (untuk pasar komositas dan kredit .
Kurva CC memiliki kemiringan negatif seperti kurva IS. Meskipun kebijakan moneter (R) dan gejolak pasar uang berdampak pada L atau λ. Kurva CC mereduksi dari kurva IS jika pinjaman dan obligasi diasumsikan tersustitusi sempurna untuk peminjam atau kreditur, atau jika permintaan komoditi tidak sensitif untuk tingkat pinjaman (Yρ=0) yang membuat psasr kredit tidak relevan untuk IS/LM. Penjelasan khusus berasumsi secara implisit hanya dalam jalur uang saja.
Perbandingan secara ekstrim atau hanya jalur kredit saja, akan naik jika uang dan obligasi bersubstitusi sempurna, akan membentuk kurva LM horisontal. Keynes menjelaskannya dengan apa yang dinamakan liquidity trap (jebakan likuiditas). Kemampuan bersubstitusi yang tinggi lebih seperti menaikkan dari inovasi keuangan dengan menciptakan pergantian uang baru. Meskipun, kejadian seperti jebakan likuiditas tersebut, kebijakan moneter sangat penting, sebab dapat mempengaruhi kurva CC.
Kurva LM dan CC dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Kurva LM dan Kredit





Sumber: Bernanke- Blinder (1988), dalam Money, Credit and Aggregat Demand
2.1.8 Model Impiris Bernanke-Blinder
Menggunakan data time series drai tahun 1974 Kuartal I sampai dengan 1985 kuartal IV Bernanke-Blinder melakukan perbandingan antara fungsi Permintaan Uang/Penawaran Uang dengan Kredit ke dalam model. Menggunakan PAM (Partial Adjustedment Model) untuk persamaan permintaan uang. Fungsi permintaan uang adalah f(i, P, Y), sedangkan fungsi kredit adalah f( i, P, Y, ρ) dengan menggunakan fungsi log dalam tiap persamaan. Persamaan tersebut adalah :
logM = α0 + α1 logM-1 + α2 log i + α3 logP + α4 log Y (2.8)
logC = β0 + β1 logC-1 + β2 log i + β3 log ρ + β4 log P + β5 log Y (2.9)
Dimana : M = Money Stock
C = Kredit
M-1 = Money Stock satu periode sebelumnya.
C-1 = Kredit satu periode sebelumnya.
i = tingkat suku bunga Treasury bill tiga bulan.
r = tingkat bunga bank umum.
P = GNP Deflator.
Y = GNP riel.
Hasilnya adalah tidak ada variabel independen yang mempengaruhi secara signifikan dengan derajat kesalahan 5 persen, dan masing-masing variabel M-1, i, P dan Y hanya mempengaruhi secara signifikan M pada derajat kesalahan 10 persen. Artinya persamaan konsisten dengan teori pada derajat kesalahan 10 persen. Variabel C-1 dan P mempengaruhi C dengan derajat kesalahan 10 persen, sedang i dan ρ tidak signifikan pada derajat kesalahan 10 persen. Tanda tetap konsisten dengan teori.
Membangi data dalam dua sub periode yaitu 1974:1 sampai dengan 1979:3 dan 1979:4 sampai 1985:4 diperolehlah perbedaan variance residual antara M dan Kredit, sebagai berikut :
Periode 1974:1 s/d 1979:4 variance residual kredit <> uang (Money). Perbedaan dari variance residual tidak cukup berarti ( ditunjukkan dengan pangkat yang sama dari pembilang).
Pembenahan masalah penawaran uang lebih dominan dari kredit sebelum sebelum 1980. Tetapi setelah 1980 pembenahan lebih dominan memfokuskan kredit. Keterangan lebih lanjut bahwa model Bernanke-Blinder (1998) ini tidak menjelaskan lebih dalam arti perbedaan yang berarti.
2.1.9 Pengunaan M1 sebagai variabel M (Penawaran Uang)
Konsep uang memegang peranan yang sangat penting dalam analisis makro ekonomi. (Insukindro, 2003) Konsep uang dapat dibagi dalam empat kelompok :
1.Uang sebagai media pertukaran (Johnson, 1962) yang berupa uang kartal ditambah uang giral.
2.Alat penyimpan daya beli sementara (Newton Friedman) Yaitu uang kartal ditambah semua deposito yang ada di bank umum.
3.Semua besaran ekonmi yang dapat menambah likuiditas masyarakat. (Komite Radcliffe) yaitu uang tidak hanya dalam arti sempit yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, tetapi harus mencakup semua aktiva keuangan lain yang mempunyai kemampuan sebagai substitusi uang.
4.Devinisi uang yang relevan seharusnya mencakup semua bentuk uang termasuk semua pasiva yang diterbitkan oleh lembaga keuangan bukan bank, selain uang yang dietrbitkan oleh bank.(Gurley and Shaw)
Sampai saat ini ada 3 konsep uang yang berlaku di Indonesia (Insukindro,2003) yaitu :
1.Uang Primer (M0) yang merupakan kewajiban moneter dari otoritas moneter yang terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat, kas bank, giro bank, dan giro perusahaan atau perseorangan.
2.Uang dalam arti sempit (M1) yang merupakan kewajiban moneter dari sistem moneter kepada masyarakat yang terdiri dari uang kartal dan uang giral.
3.Uang dalam arti luas (M2) yang merupakan kewajiban moneter dari sistem moneter kepada masyarakat yang terdiri atas M1 dan kuasi (tabungan dan deposito baik dalam rupiah dan valuta asing).
Monetery Base (M0) atau uang inti adalah hasil daripada penjumlahan uang Kartal (C) ditambah Cadangan (R), dapat dibangun persamaan yang berkaitan dengan jumlah uang inti dalam tingkat dari deposito yang dapat diuangkan (Checkable Deposite) dan uang kartal dengan menambahkan uang kartal untuk dua sisi dari persamaan :
(2.12)
Jalan lain untuk berpikir tentang persamaan di atas adalah terdiri dari sejumlah uang inti yang diperlukan untuk mendukung jumlah yang ada dari chekable deposits , uang kartal, dan excess resserves.(Frederic S. Miskhin, 2001)
Uang dalam arti sempit atau M1 adalah merupakan penjumlahan dari uang kartal dan uang giral, dirumuskan dengan persamaan :
(2.13)
Dimana M1 adalah uang inti, C uang kartal dan D adalah Demand Deposits atau Giro.
Uang dalam arti luas atau M2 didefinisikan dalam persamaan sebagai berikut :
(2.14)
Dimana : C adalah uang kartal yang beredar, D adalah chekable deposits, T adalah time and saving deposits, MMF adalah uang primer di pasar mutual fund shares dan money market deposits account, ditambah overnight agreement dan Overnights Eurodollars. (Frederic S. Miskhin, 2001)
Namun di Indonesia penggunaan M1 masih tetap relevan sebagai dasar untuk menjadi indikator Jumlah Uang Beredar, oleh karena itu penggunaan M1 lebih diutamakan daripada M0 dan M2 dalam model Bernake-Blinder di Indonesia dalam penelitian ini.
2.1.10 Pengunaan Variabel Kredit sebagai Variabel Eksogen Model.
Kredit adalah pinjaman dari kreditur dalam hal ini perbankan pada debitur yang berupa kredit tertentu untu keperluan Investasi, Modal Kerja dan Konsumsi, dapat untuk membiayai perusahaan, ekspor dan impor, baik berupa valas maupun rupiah, dengan membayar biaya berupa bunga tertentu yaitu tingkat bunga kredit. (HLB Hadori dan Bank Indonesia, 2002)
Jika dikaitkan dengan tingkat bunga yang berlaku, terjadi suatu anomali yang pada kenyataannya kredit investasi dalam bentuk rupiah akan meningkat seiring dengan peningkatan suku bunga, sebaliknya akan menurun seiring dengan penurunan suku bunga. (HLB Hadori dan rekan, 2002)
Kredit modal kerja yang merupakan jenis kredit yang paling dominan, mengindikasikan nilai relatif konstan dalam satuan dollar. Kemungkinan besar digunakan untuk membiayai impor. Sedangkan kredit rupiah mengalami penurunan terus menerus akibat dari ketakutan perbankan terhadap kredit macet karena tingginya NPL (Non Performance Loans). (HLB Hadori, 2002)
Sedangkan kredit konsumsi dipengaruhi oleh peningkatan tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan kenaikan PDB, karena kredit konsumsi membutuhkan jaminan yang mapan untuk menjadikan jaminan agar kredit tidak macet.
2.1. 11 Sasaran Kebijakan Moneter
Secara umum tujuan atau sasaran kebijakan moneter tidak jauh berbeda dengan kebijakan makro ekonomi lainnya. Bahwa sasaran kebijakan moneter adalah :
1.tersedianya kesempatan kerja yang tinggi,
2.pertumbuhan ekonomi, kestabilan harga,
3.kestabilan suku bunga,
4. kestabilan pasar keuangan dan
5.kestabilan pasar valuta asing. (Miskhin, 2001)
Ketiga sasaran yang disebut pertama dan keseimbangan neraca pembayaran sering disebut sebagai sasaran akhir yang di dalam mencapainya perlu sasaran antara dan sasaran kerja. Idelanya semua sasaran itu dapat dicapai secara bersamaan , tetapi sering kali pencapaiannya mengandung unsur-unsur yang kontradiksi atau tumpang tindih, sehingga perlu disadari perlunya kebijakan moneter dengan sasaran tunggal.(Insukindro, 2003)
Untuk sasaran moneter di kuantitas di Indonesia,
1.sasaran operasional yang digunakan terutama uang primer (M0) dan
2.sasaran antaranya adalah M1 dan M2 sesuai dengan konsep uang yang berlaku di Indonesia.
Perangkat kebijakan yang sering digunakan adalah operasi pasar terbuka melalui lelang SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan intervensi baik ke pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing (Solikin, 2003). Melalui lelang SBI mingguan diharapkan sasaran M0 dapat tercapai. Selanjutnya, jika seandainya terjadi perkembangan yang tidak terduga yang memungkinkan tidak tercapainya sasaran M0, BI akan melakukan intervensi langsung di pasar uang, antara lain melalui pembelian kembali SBI dan menawarkan pada bank-bank umum untuk menannamkan kembali likuiditasnya di BI. Intervensi di pasar uang atau pasar valas juga dimaksudkan untuk menyerap kelabihan likuiditas karena ekspansi fiskal dan sekaligus untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. (Insukindro, 2003)
Namun demikian, keberhasilan kebijakan kuantitas uang ini ditentukan oleh stabilitas besaran moneter, permintaan uang, velositas uang dan angka pengganda uang. Dengan kata lain, penaksiran terhadap perilaku masyarakat di pasar uang menjadi penting karena akan menentukan efektifitas kebijakan moneter. Jika permintaan uang tidak stabil pengaruh kebijakan moneter terhadap keseimbangan ekonomi juga tidak mudah diprediksi. Jika ketidak stabilan ini terjadi maka harus dicarikan solusinya, baik melalui perbaikan mode ekonomi moneter atau melalui kebijakan moneter pendekatan harga sepetrti melalui target inflasi dan kurs. (Insukindro, 2003)

2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kebijakan uang beredar merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar, dimana bank Indonesia mengeluarkan instrumen kebijakan moneter guna mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia direspon oleh masyarakat sesuai dengan tingkat pendapatan (PDB) dan suku bunga SBI (i) dan inflasi.
Di sisi lain bank umum sebagai lembaga intermediasi mengeluarkan kebijakan suku bunga kredit perbankan untuk melakukan penawaran kredit, diikuti dengan permintaan kredit (L). Permintaan kredit dipengaruhi pendapatan (PDB), tingkat suku bunga SBI sebagai portopolio kredit dan perubahan tingkat harga-harga di masyarakat (inflasi).
Kredit diharapkan akan menciptakan investasi di sektor riil sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan (PDB) dengan tingkat inflasi tertentu.
Kerangka pemikiran teoritisnya dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Gambar 2.2
Stabilitas Jalur Jumlah Uang Beredar dan Kredit dalam Intermediasi di Indonesia


















Keterangan : = menunjukkan hasil
= menunjukkan pengaruh
Kerangka pemikiran tersebut di atas juga dapat digambarkan dalam mekanisme transmisi sebagai berikut :
Model Quantum Channel dengan menggunakan jalur Jumlah Uang Beredar ( M1)dan Kredit (L). Fungsi Jumlah Uang beredar adalah M1t= f(rt , PDBt , M1t-1), dan Fungsi Kredit adalah (L)t =f(r , PDBt , Kredit(L)t-1, it ). Dari hasil persamaan dengan regresi OLS (Ordinary Least Square) dihasilkan variance residual dari masing-masing fungsi JUB dan Kredit. Kemudian dibandingkan variance residual-nya. Bila variance residual M1 <> variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) .
11.Sebelum dan sesudah krisis moneter variance residual Kredit (L) > variance residual Jumlah Uang Beredar (M1).






BAB III.
METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional
Data-data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam statistik Bank Indonesia dianggap cukup memberikan representasi dalam menganalisis tentang Jalur Mekanisme Transmisi dengan pendekatan Quantum Channel. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
3.1.1 Variabel Dependen/Eksogen
3.1.1.1 Variabel Jumlah Uang Beredar/Besaran Moneter (M1)
Jumlah uang beredar (M1) sebagai variabel dependen, dalam bentuk logaritma untuk melihat efek pertumbuhan . Data yang digunakan diperoleh dari Bank Indonesia dengan satuan mata uang rupiah sebagai satuan besaran moneter.
3.1.1.2 Variabel Kredit (L)
Kredit atau (L) adalah permintaan kredit, berupa besarnya pinjaman dari masyarakat berupa kredit investasi dan modal kerja yang dikeluarkan oleh bank umum. Penggunaan logaritma dari Kredit adalah untuk melihat efek pertumbuhan kredit, seperti halnya dalam penggunaan bentuk logaritma dalam melihat pertumbuhan jumlah uang beredar. Sebagai satuannya adalah dalam rupiah.

3.1.2 Variabel Independen/Endogen
3.1.2.1 Varibel Lag Satu Periode sebelumnya dari Jumlah Uang Beredar
Varibel Lag satu periode sebelumnya dari Jumlah Uang Beredar (M1-1) adalah lag satu periode variabel dependen M1, sesuai dengan sifat data time series yang memiliki keterikatan erat antar waktu. Satuan yang digunakan adalah rupiah.
3.1.2.2 Varibel Lag Satu Periode sebelumnya dari Kredit
Varibel lag satu periode sebelumnya dari Kredit (L-1) adalah lag satu periode variabel dependen Kredit (L), sesuai dengan sifat data time series yang memiliki keterkaitan erat antar waktu. satuan dalam rupiah.
3.1.2.3 Variabel Suku Bunga SBI.
Variabel Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia adalah variabel independen sesuai dengan teori portfolio choice. Suku bunga dalam hal ini suku bunga SBI pada umumnya ditunjukkan dalam prosen karena merupakan rasio dari pendapatan bunga yang diperoleh terhadap besarnya nilai Sertifikat Bank Indonesia yang dimiliki oleh pemilik SBI. Tingkat bunga SBI yang digunakan adalah tingkat bunga bulanan.
3.1.2.4 Variabel Pendapatan (PDB)
Variabel Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan proxy dari pendapatan (Y) dijadikan sebagai variabel independen, dimana PDB (Y) yang diambil adalah data Bank Indonesia berupa PDB Nominal (Y) dengan satuan yang digunakan dalam rupiah. Karena data PDB nerupakan data tahunan maka untuk diperoleh data triwulanan maka dilakukanlah teknik interpolasi. Interpolasi terhadap PDB dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(3.1)

Qn= kuartal ke N
Yt= PDB pada tahun t
N = Jumlah kuartal

Q1= ¼ X 2/5Y = 1/10 Y
Q2 = 2/4 X 2/5Y = 1/5 Y
Q3 = ¾ X 2/5Y = 3/10 Y
Q4 = 4/4 X 2/5Y = 2/5 Y

Rumus diatas merupakan adopsi dari rumus interpolasi linear dengan rumus :
(3.2)
Dimana Y sama dengan garis ordinat dan X adalah absis dalam linier interpolasi.(M. Agus Choirun 2007).
3.1.2.5 Variabel Suku Bunga Kredit .
Suku bunga kredit investasi adalah suku bunga kredit atau pinjaman (loan) yang merupakan variabel independen sesuai dengan teori portfolio choice Seperti halnya suku bunga SBI suku bunga kredit riil ditampilkan dalam bentuk prosentase. Dan penggunaan suku bunga kredit (ρ) lebih tepat untuk menunjukkan bukti-bukti yang bisa lebih baik dalam persamaan regresi yang digunakan untuk menjelaskan permintaan kredit.

3.1.2.6 Variabel Inflasi
Seperti dalam model Bernanke-Blinder mengunakan variabel P berupa deflator GNP (Gross National Product), karena penggunaan log P adalah untuk mencari data inflasi (π), maka penggunaan invlasi dalam model lebih utama karena lebih mudah diperoleh dalam data statistik yang dibutuhkan. Karena Log P = Inflasi (π).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Statistik keuangan Bank Indonesia dengan menggunakan beberapa media baik elektronik maupun media tulis berupa Web side BI.go.id maupun Laporan Bulanan, Triwulanan dan tahunan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Periodisasi data penelitian yang mencakup data periode tahun 1990 kwartal I sampai dengan kwartal IV tahun 2006 dipandang cukup mewakili sejauh mana pengaruh variable-variabel independent terhadap variable dependen. Data-data tersebut setelah diolah dan dianalis dengan menggunakan alat bantu komputasi yaitu dengan program Eviews 3, 4 atau 5. Model yang digunakan adalah model Bernanke-Blinder dengan menggunakan model Quantum Channel. Dengan menggunakan Variabel M1 dan Kredit(L) dengan Suku Bunga SBI(i), PDB atau Pendapatan (Y), suku bunga kredit (ρ) , dan inflasi (π), kemudian dari regresi OLS dari masing-masing fungsi M1 dan kredit (L) tersebut dibandingkan variance residual-nya diperoleh perbedaan yang menunjukkan seberapa besar dominasi antara besaran moneter dan kredit sebelum dan sesudah gejolak moneter tahun 1997 kuartal III, sehingga dapat diketahui efektifitas Quantum Channel..
Data yang diambil dan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh data time series dari tahun 1990 kuartal I sampai dengan 2006 Kuartal IV. Jumlah sampel yang diambil adalah sama yaitu dengan jumlah N = 68. Dengan variable yang digunakan adalah variabel besaran moneter yang diwakili oleh (M1) serta variabel lain berupa Kredit (L) dan variabel tingkat bunga SBI (i), PDB (Y) dan tingkat bunga kredit (ρ).
Satuan untuk Y, M1, dan kredit (L) adalah Rupiah, sedangkan satuan untuk tingkat bunga SBI (i), dan tingkat bunga kredit (ρ) dan inflasi (π) dalam prosen. Karena memiliki satuan yang berbeda maka dilakukan log pada masing-masing variabel yang diperoleh untuk mendapatkan satuan yang sama karena akan melihat pertumbuhan dari masing-masing variabel.

3.3 Metode Pengumpulan Data
Data-data yang diperlukan tersebut dikumpulkan dengan melakukan non participant observation, yaitu melakukan down load situs www.bi.go.id , mencatat atau mengkopi data Laporan Keuangan Bank Indonesia baik mingguan, bulanan, triwulanan, atau tahunan yang merupakan financial report (laporan keuangan) dari literatur-literatur pendukung lainnya serta melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini baik berkaitan dengan teori ekonomi makro, teori ekonomi moneter, perbankan maupun literatur berupa jurnal ilmiah dan teks book yang mendukung penelitian ini. . Selain itu sebagai referensi dibutuhkan studi puataka yang memadahi agar penelitian ini dapat berjakan sesuai dengan aturan metode ilmiah dalam ilmu ekonomi. Literatur bidang ekonomi sangat dibutuhkan terutama literarur yang mengkhususkan dalam bidang ekonomi moneter baik dalam bentuk jurnal, buku panduan dan sumber lain yang dapat diakui sebagai leteratur yang layak untu dijadikan acuan..

3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data ini akan menganalisis secara ekonomi stabilitas Quantum channel dalam mekanisme transmisi. Oleh karena itu harus dibantu dengan model ekonometrik yang didukung dengan alat analisa matematika, statistika dan ekonomi. Alat analisis yang digunakan berguna mencari pembuktian hipotesis secara empiris.
3.4.1 Model Quantum Channel oleh Bernanke Blinder.
Pendekatan Quantum Channel Model Bernanke-Blinder di Indonesia dengan data yang diambil secara kuartalan dari tahun 1990 kuartal I sampai dengan 2006 kuartal IV. Model Quantum Channel adalah melakukan regresi pada variabel independen pada masing-masing model regresi berganda pada M1 dan Kredit (L). Model tersebut dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut :
logM = α0 + α1 logM-1 + α2 log i + α3 π + α4 log Y (3.3)
logL = β0 + β1 logL-1 + β2 log i + β3 log ρ + β4 π + β5 log Y (3.4)
Dimana :
M1 = Uang dalam arti sempit
L = Kredit
Y = Produk Domestik Bruto/ Pendapatan nominal.
i = Suku bunga SBI.
ρ = Suku bunga kredit.
π = inflasi
Bernanke Blinder melakukan regresi dari masing-masing persamaan permintanan uang dan kredit dengan melakukan regresi persamaan OLS . Karena hasil regresi dengan OLS tetap konsisten dalam menghasilkan persamaan regresi, (HLB Hadori, 2002) maka untuk melakukan pengujian regresi dari variance residualnya (predicted error-nya) dilakukan pengujian dengan persamaan OLS (ordinery least square) atau persamaan kuadrat terkecil, dan dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heterokedastisitas, dengan derajat keyakinan 95% dengan uji statistik berupa besarnya koefisien dari konstanta dan varibel independen, uji F, besarnya R2 dan Uji t untuk melihat seberapa jauh variabel independen mempengaruhi variabel dipenden. Dan pengunaan OLS dapat dilakukan apabila persamaan tidak teridentifikasi simultan, karena pemakaian regresi OLS dalam perhitungan tetatp bersifat konsisiten. (Gujarati, 2002)
Persamaan OLS memiliki beberapa asumsi klasik yang perlu diuji validitasnya. Asumsi dasar tersebut adalah :
3.4.1.1 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan korelasi antar variabel bebas(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi, adalah (1) Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen (terikat),(2) Menganalisis matriks korelasi variabel-variabel bebas. Jika antara variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90) maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
3.4.1.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan-kesalahan pengganggu periode t dengan kesalahan t-1. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu dengan yang lain. Uji Autokorelasi dengan melakukan Durbin Watson test dengan berbagai macam syarat dimana tidak terjadi autokorelasi bila :
1.0 < white =" (3.6)" 1 =" α2" 3 =" α4" 5 =" α6" n =" besar" s =" koefisien" k =" koefisien" berarti="" m1="" lebih="" dan="" apabila="" l=""> ttabel = 1,645 . Suku bunga SBI (i) = 1,14 dan inflasi(π) = - 1,46 keduanya lebih kecil dari t tabel (1,645), menunjukkan hasil yang tidak signifikan mempengaruhi Jumlah Uang Beredar (M1/M).
2.Uji Determinan (R2) dan Uji F
Secara ekonometri, hasil yang sangat baik diperoleh dengan tingginya R2 (0,996) dan efek kumulatif dari semua variabel menunjukkan hasil yang cukup signifikan dengan besarnya F hitung = 4104,89 lebih besar dari F tabel (α=5%, df=64,4) sebesar 2,53.
Artinya adalah secara bersama-sama variabel bebas mempengaruhi variabel terikat dengan F hitung > Ftabel. Varibel bebas menjelaskan variabel terikat dalam model sebesar 99,6 % dan sisanya adalah dijelaskan oleh variabel di luar model.
4.2.1.2 Penyimpangan Asumsi Klasik Fungsi Jumlah Uang Beredar (M1)
Uji penyimpangan asumsi klasik dengan menggunakan uji autokorelasi, uji heterokedastisitas, multikolinearitas dan normalitas. Ditunjukkan dalam poin berikut ini :
1.Uji Autokorelasi.
Pelanggaran asumsi klasik tidak dapat dihindari dengan DW = 2,509 lebih kecil dari 4 - 1,343 = 2,657 dengan adanya autokorelasi negatif namun ada autokorelasi den juga dengan menggunakan uji LM test mengindikasikan tidak autokorelasi dengan nilai Prob(R2* obs) = 0,09 (2 lags) lebih kecil dari 10 persen.
2.Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas terjadi dimana Uji White Heterokedastisitas Prob(R2* obs) = 0,009 jauh lebih kecil dari α = 10 persen.
3.Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas secara umum bisa dihindari dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari i dan π yang bertanda negative meskipun tidak konsisten dalam tanda matematika. Multikolinearitas tidak terjadi karena tingkat signifikan yang cukup besar dari PDB(Y) dan Mt-1 dengan R2 dan F yang besar pula tingkat signifikansinya.
4.Uji Normalitas
Data terdistibusi secara tidak normal dengan Prob JB = 0,085 dibawah batas nilai normal yaitu diatas 10 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model diatas sudah cukup baik menjelaskan persamaan model penawaran uang.
4.2.1.3 Penjelasan Secara Ekonomi Hasil Regresi Fungsi Jumlah Uang Beredar (M1).
Arti ekonominya bahwa konstanta menunjukkan nilai negatif 0,622 dengan t hitung -0,78 ( probabilitas 0,08), memiliki arti apabila variabel Y, i, Mt-1, dan π adalah tetap pertumbuhan M adalah menurun -0,622%. Penawaran uang sangat dipengaruhi oleh kenaikan tingkat pendapatan atau pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan PDB dan penawaran uang periode satu kuartal. Setiap kenaikan PDB 1% akan meningkatkan kenaikan Penawaran uang 0.0536%, dan kenaikan 1 persen Mt-1 akan mempengaruhi kenaikan M sebesar 1.00026%. Perubahan suku bunga SBI dan inflasi tidak menjadi faktor yang mengakibatkan perubahan penawaran Uang, hal ini diakibatkan gejolak yang tajam pada masa krisis tidak mengakibatkan keputusan rasional untuk menentukan jumlah uang beredar karena gejolak harga yang cukup tidak stabil. Sedangkan penentuan suku bunga SBI yang cukup tinggipun tidak mampu menekan permintaan uang yang harus diikuti dengan penawaran uang yang cukup. Pada masa krisis terutama pada saat kredit runs masyarakat menarik uang pada masa krisis secara besar-besaran meskipun penawaran suku bunga SBI cukup tinggi. Memang penawaran suku bunga SBI kadang tidak direspon secara langsung oleh masyarakat terutama pada situasi ekonomi yang tidak stabil.
4.2.2 Hasil Pengujian Persamaan Regresi untuk Kredit (L)
4.2.2.1 Hasil Regresi Fungsi Kredit (L).
Hasil dari perhitungan regresi berganda dengan menggunakan regresi semi logaritma menghasilkan estimasi seperti berikut :
LogL = 2.657 - 0.0775log Y - 0.007 log i + 0.959 log Lt-1 + 0.003 π – 0.44 log ρ
t (5,46) (-1,803) (-0,19) (52,68) ( 3,7) (-4,64)
Prob (0,00) (0,076) (0,84) (0,00) (0,005) (0,00)
Adj R2 = 0,99 DW test = 1,714
F statistik = 1258,91
Uji White Heterokedastisitas Prob(R2* obs) = 0,16
Uji LM Autokorelasi Prob(R2* obs) = 0,38 (2 lags)
Konstanta menunjukkan nilai 2,657, artinya bahwa apabila variabel Lt-1, Y, i, π, dan ρ tetap pertumbuhan kredit akan naik 2,657%. Setiap penurunan 1 persen PDB (pendapatan) akan meningkatkan Kredit sebesar 0,0775 persen. Suku bunga SBI (i) tidak mempengaruhi Kredit baik kenaikan maupun penurunannya secara signifikan. Kenaikan 1% suku bunga kredit(ρ) akan menurunkan kredit 0,44%. Kenaikan inflasi (π) = 1 persen akan meningkatkan kredit 0,003%. Dan setiap kenaikan 1% Kredit periode sebelumnya akan menurunkan kredit 0,959%
1.Uji t (Uji Parsial)
Pendapatan atau PDB (Y) tidak kosisten dengan teori yaitu dengan pengaruh yang negatif, ditunjukkan dengan t hitung rata-rata lebih besar dari t tabel dengan derajat keyakinan 90% dan 5% uji 2 arah (t tabel = 1,671 ( α = 10%) dan t table = 2,00(α = 5%)) .
Suku bunga SBI (i) tidak mempengaruhi Kredit baik kenaikan maupun penurunannya secara signifikan. Ditunjukkan dengan t hitung (-0,19) <> t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.
Inflasi (π) mempengaruhi kenaikan Kredit secara signifikan. Ditunjukkan dengan t hitung ( 3,7) > t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.
Suku bunga kredit (ρ) secara signifikan mempengaruhi penurunan Kredit. Ditunjukkan dengan t hitung (-4,64) > t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.
2.Uji F dan Uji Determinan (R2)
Secara ekonometri, hasil yang sangat baik diperoleh dengan tingginya R2 (0,99). Efek kumulatif dari semua variabel menunjukkan hasil yang cukup signifikan dengan besarnya F statistic = 1258,91 lebih besar dari F tabel, df 64,4 sebesar 2,53 dengan α = 5%.
Model dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99% terhadap variabel terikat. Sisanya dijelaskan oleh varibel diluar variabel bebas.
4.2.2.2 Penyimpangan Asumsi Klasik Fungsi
1.Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas Multikolinearitas secara umum bisa dihindari dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari i yang bertanda negative meskipun konsisten dalam tanda matematika. Multikolinearitas tidak terjadi karena tingkat signifikan yang cukup besar dari Kredit(L), inflasi (π), suku bunga kredit (ρ) dan Lt-1 dengan R2 dan F yang besar pula tingkat signifikansinya.
2.Uji Autokorelasi
Pelanggaran asumsi klasik dapat dihindari dengan DW = 1,714 diantara dl = 1,464 dan dibawah 1,768 menunjukkan tidak adanya autokorelasi negatif maupun positif, dan dengan menggunakan uji LM test dengan nilai Prob(R2*obs) = 0,148 (2 lags) lebih besar dari 10 persen.
3.Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas tidak terjadi dimana Uji White Heterokedastisitas Prob(R2*obs) = 0,38 lebih besar dari niali α = 10 persen. Multikolinearitas secara bisa dihindari dengan adanya pengaruh yang signifikan dari masing-masing variable pendapatan, inflasi, suku bunga kredit dan kredit stau periode sebelumnya yang signifikan.
4. Uji Normalitas
Data terdistibusi secara tidak normal dengan Prob JB = 0,00 jauh di bawah dari batas nilai normal yaitu diatas 10 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model diatas sudah cukup baik menjelaskan persamaan tersebut.
4.2.2.3 Penjelasan Secara Ekonomi Hasil Regresi Fungsi Kredit (L)
Implikasi ekonomi yang terjadi bahwa instrument kebijakan moneter berupa suku bunga SBI tidak mampu mengendalikan gejolek kredit di Indonesia. Justru pendapatan memiliki pengaruh terhadap kredit meski kecil, namun yang terjadi di Indonesia permintaan kredit akibat penurunan tingkat pendapat (PDB) artinya permintaan kredit justru untuk menutup kekurangan konsumsi karena penurunan daya beli. Justru masyarakat mengambil kredit sangat bergantung pada kredit yang ditawarkan, hal ini berbeda dengan suku bunga SBI, karena masyarakat lebih banyak kontak dengan bank umum dari pada Bank Indonesia. Penurunan tingkat bunga kredit akibatnya direspon secara positif oleh pasar, demikian sebaliknya.
Informasi suku bunga SBI tidak dapat direspon langsung oleh masyarakat atau pasar karena keterbatasan informasi tentang kenaikan suku bunga SBI kaitannya dengan kredit. Di sisi lain penurunan suku bunga SBI tidak cepat direspon oleh bank umum dengan menurunkan suku bunga kredit mereka karena ketidak seimbangan informasi di pasar. Kondisi ini menjadikan kesempatan bagi bank umum untuk mengambil posisi untung jangka pendek. Contoh kasua penurunan BI rate dari 8,25 persen tidak serta merta mendorong Bank Umum menurunkan suku bunga kredit mereka.
Kondisi assimetric information's dan kredit crunch ini menunjukan adanya gangguan intermediasi perbankan, yang untuk mendeteksi lebih lanjut dengan melihat variance residual dari persamaan simultan model Bernanke – Blinder dalam sub bab berikutnya.
4.2.3 Perbandingan Variance Residual atau Pengujian Stabilitas.
Pengujian untuk melihat stabilitas variabel di atas dengan melihat besarnya varuans residual-nya. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.5
Variance Residuals M1 dan L
Sebelum dan Sesudah Krisis
Periode

M1(Ms)
L
1990.1-2006.4
(selum dan Sesudah)
R2 residual
0,182948
0,253336
SEE
0,054321
0,064444
Variance Residual
0,009938
0,016326
1990.1-1997.3
(Sebelum)
R2 residual
0,029072
0,104099
SEE
0,034101
0,065859
Variance Residual
0,000991
0,006856
1997.4-2006.4
(sesudah)
R2 residual
0,132469
0,113271
SEE
0,06434
0,060447
Variance Residual
0,008523
0,006847
Sumber BI, diolah 2008
Tabel di atas menunjukkan seberapa besar perbedaan variance residual dari periode sebelum dan sesudah krisis (1990 kuartal I sampai 2006 kuartal IV); periode sebelum krisis yaitu 1990 kuartal I sampai 1997 kuartal IV; dan periode sesudah krisis (1997 kuartal IV sampai 2006 kuartal IV).
Periode sebelum dan sesudah krisis, menunjukkan bahwa variance residual dari M1(9,938*10-3) <> Kredit(L) (6,847*10-3) Sebelum krisis moneter menunjukkan bahwa Jumlah Kredit lebih efektif meningkatkan PDB.. Mekanisme transmisi jalur kredit lebih efektif daripada jalur moneter.
Implikasi kebijakan yang terjadi bahwa intermediasi perbankan tidak terjadi gangguan sebelum dan sesudah krisis moneter. Pada masa sebelum krisis terjadi kondisi dimana jalur uang lebih efektif dalam mekanisme transmisi daripada jalur kredit. Masa sesudah krisis jalur kredit lebih efektif di dalam mekanisme transmisi daripada jalur uang. Artinya penanganan masalah kredit pasca krisis yang dilakukan Bank Indonesia berjalan dengan efektif meski melalui berbagai rintangan. Periode sebelum dan sesudah krisis terlihat jalur uang lebih efektif daripada kredit di dalam mekanisme transmisi dalam meningkatkan PDB. Artinya meskipun jalur kredit sudah jauh lebih efektif dalam mekanisme transmisi, namun perlu ditingkatkan penanganan di jalur kredit. Karena penanganan jalur kredit cukup berat, akibat gejolak moneter pada saat krisis mampu meruntuhkan kepercayaan perbankan.
Kesimpulannya pada saat ini telah tercapai kesehatan perbankan yang lebih baik daripada sebelum krisis moneter, karena syarat-syarat kesehatan perbankan yang dikeluarkan BI cukup ketat. Kebijakan itu dilakukan dengan berbagai paket kebijakan perbankan seperti arsitektur perbankan Indonesia dan Penerapan manajemen resiko perbankan yang ketat pula.






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hasil akhir dari thesis ini adalah mengambil kesimpulan berdasar pengujian empiris dengan pendekatan teori yang ada. Penelitian dengan jumlah sampel 68 dan menggunakan data runtut waktu beresimpulan :
Tidak ada pengaruh suku bunga SBI, dan Inflasi terhadap Jumlah Uang Beredar (M1) dan ada kenaikan PDB (Y) dan kenaikan M1 satu periode sebelumnya mempengaruhi kenaikan M1 di Indonesia. Terjadi penurunan jumlah uang beredar tiap periode apabila variabel PDB, suku bunga SBI, inflasi dan Jumlah uang beredar satu periode sebelumnya tetap. Dengan derajat keyakinan 90 persen.
Tidak ada pengaruh suku bunga SBI, terhadap Jumlah Uang Beredar (M1) (derajat keyakinan 90%) dan penurunan PDB (Y) dengan derajat keyakinan 90% sebelumnya mempengaruhi kenaikan Kredit . Kenaikan penawaran Kredit satu periode sebelumnya, kenaikan inflasi dan penurunan suku bunga kredit mempengaruhi kenaikan Kredit di Indonesia. Terjadi kenaikan kredit tiap periode apabila variabel PDB, suku bunga SBI, inflasi, suku bunga kredit dan jumlah kredit satu periode sebelumnya tetap.
Sebelum krisis moneter Jumlah Uang Beredar (M1) lebih efektif dari Kredit (L) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar ( M1) lebih kecil dari kredit sebelum krisis.
Sesudah krisis moneter kebijakan moneter pasca krisis dianggap mampu mengembalikan kestabilan moneter. Kredit lebih efektif dari Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) lebih besar dari kredit sesudah krisis moneter.
5.1 Saran
Kredit sangat penting didalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi disamping jumlah uang beredar (M1). Stabilitas Jumlah Uang Beredar dan kredit harus tetap dijaga. Karena dengan tingkat stabilitas yang tinggi pertumbuhan ekonomi cepat untuk tercapai.
Dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter perlu langkah-langkah efektif yaitu dengan stabilitas harga, suku bunga kredit dan suku bunga SBI sehinggan mampu mengendalikan Jumlah Uang Beredar dan Kredit.
Untuk meningkatkan volume kredit dibutuhkan tingkat suku bunga kredit yang rendah, suku bunga kredit yang rendah, dan suku bunga SBI yang rendah pula. Kredit juga akan meningkat apabila pendapatan masyarakat meningkat.
Kebijakan moneter yang efektif akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas harga , sehingga meningkatkan lapangan kerja. Maka diperlukan kebijakan moneter yang mampu untuk mencapai sasaran akhir dari pembangunan ekonomi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Nasution. 2005. Membangun Kembali Perkonomian Indonesia Setelah krisiss 1997-1998. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2005. Hal.8-9.

Bernanke-Blinder. 1988. Credit, Money and Aggregate Demmand. National Bureu of Economics Research 1050 Massachusetts Avenue Canbride, MA 02138 M.

Burhanudin Abdullah. 2005. Strategi Kebijakan Moneter dalam mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang berkelanjutan. ISEI-Penerbit Kanisius , 2005. Hal 429 – 445

Charles S. Morris dan Gordon H. Sellon, Jr. 1995. Bank Lending and Monetery Policy : Evidence on a Credit Channel. Federel reserves Bank of Cansas City, economics review, kwartal kedua 1995. Hal. 59 – 75

Damodar N. Gujarati. 2002. Basic Econometrics. United States Military Academy, West Point-Mc Graw-Hill Higher Education.

Doddy Zulverdi, Iman Gunadi, and Bambang Pramono. 2006. Bank Portfolio Model and Monetary Policy in Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy –Bank Indonesia, Agustus 2006. Hal. 1-25

Dominique Dwor-Frecaut, Mary Hallward-Driemeier, Francis X. Colaço. 1999. CORPORATE CREDIT NEEDS AND GOVERNANCE. World Bank, Asia-Pacific Management Consultants, Inc.

Fajar Bambang Irawan. 2007. Efektifitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter : Studi Kasus Tahun 1993-2005. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 2007. Hal. 53-73

Frederic S. Miskhin. 2001. The Economics of Money Banking, and Financial Markets. Pearson Education International, USA or Canada, Edisi 6.

HLB Hadori dan Rekan. 2002. Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Studi Ekonomi BLBI-Riset Bank Indonesia, 2002. Hal. 69 – 80.

Insukindro. 2003. Kebijakan Moneter yang tidak Diantisipasi dan pengaruhnya terhadap Komponen Pasar Uang di Indonesia. makalah pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XV Batu, Malang.

Iskandar Simorangkir. 2002. Determinan Bank Runs pada krisis Perbankan 1997-1998: Suatu Kajian dengan Menggunakan Panel data Dinamis. Center for Banking Education dan Studies, Bank Indonesia. Hal. 99-143

Jean Boivin, March Gionnoni. 2002. Assesing Changes in the Monetery Transmission Mechanism: a VAR approach. FRBNY Economics Policy Review, May 2002. Hal. 97 – 107

M Agus Choirun. 2007. Interpolasi. Program semi Que IV teknik Mesin Unibraw.

Oscar Sanchez. 2001. The Transmission of Monetery Policy and the Behavior of Manufacturing Firms in Mexico. Center for Research on Economics Development and Policy Reform at Stanford University, Oktober 2001. Hal. 1-26.

Perry Warjiyo. 2006. Stabilitas Sistem Perbankan dan Kebijakan Moneter, Keterkaitan dan Perkembangannya di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2006. Hal. 429-453.

Peter N. Ireland. 2005. the Monetery Transmission Mechanism, Boston College, Departement of Economics, Desember 2005. Hal. 1 – 14

Rodrigo Alfaro, Carlos Garcia, Helmut Franken and Alejandro Jara. 2004. The Bank Lending Channel in Chile. Central Bank on Chile and International Monetery Funds, 2004. Hal. 128 – 144.

Walter Orellana, Oscar Lora, Raul Mendoza, dan Rafel Boyan. 2000. La Politica Monetaria en Bolivia mechanismos de Transmision. Assesoria de Politica Economica Banco centralo de Bolivia, Juli 2000. Hal. 1- 26

______________________. 2007. Kompas dikutip dari Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Bidang Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran Triwulan I-2007. Biro Humas Bank Indonesia.




Lampiran 1.

Data-Data Moneter

1990-206



























obs
Inflasi
Kredit
Pertumbuhan Kredit
M0
M1
pertumbuhan M1
M2
Suku Bunga Kredit
Suku Bunga SBI
Pertumbuhan Suku Bunga SBI
PDB
Pertumbuhan PDB
1990:01:00
1,5
55234
4,55
10441
22155
4,35
64366
19
13,13
1,12
35311,7
4,55
1990:02:00
3,3
62616
4,57
10356
23204
4,37
70125
18,2
16,94
1,23
37391,9
4,57
1990:03:00
3,3
67024
4,60
10950
22982
4,36
76907
19,4
17,63
1,25
39472,2
4,60
1990:04:00
1,4
70890
4,62
12006
23819
4,38
84630
20,3
18,83
1,27
41552,4
4,62
1991:01:00
1,1
73064
4,65
11002
23571
4,37
81125
21,7
23,55
1,37
44781,7
4,65
1991:02:00
3,6
73720
4,68
11398
24610
4,39
87756
22,7
18,99
1,28
47321,5
4,68
1991:03:00
7,5
71907
4,70
11427
25805
4,41
93328
19,5
18,5
1,27
49861,3
4,70
1991:04:00
9,5
78589
4,72
12355
26341
4,42
99058
19,3
18,47
1,27
52401,1
4,72
1992:01:00
1,4
78290
4,74
14628
27318
4,44
100798
18,2
17
1,23
55401,1
4,74
1992:02:00
1,7
80891
4,77
12707
26880
4,43
106957
18,9
16
1,20
59073,2
4,77
1992:03:00
0,6
79014
4,78
13331
27650
4,44
113510
18,9
14,66
1,17
60104,2
4,78
1992:04:00
6,44
78919
4,80
14737
28779
4,46
119053
17,9
13,5
1,13
63712,6
4,80
1993:01:00
6,44
78714
4,87
15979
30593
4,49
123160
17,6
12,5
1,10
73873,3
4,87
1993:02:00
6,97
109887
4,90
15081
31342
4,50
124540
17,09
10,74
1,03
79587
4,90
1993:03:00
8,24
114756
4,93
16226
34812
4,54
136397
16,28
9,11
0,96
85300
4,93
1993:04:00
9,77
121129
4,96
17606
36805
4,57
145202
15,78
8,83
0,95
91014
4,96
1994:01:00
3,71
126753
4,96
18995
37908
4,58
148829
15,22
8,45
0,93
91514
4,96
1994:02:00
4,59
133701
4,94
19564
39886
4,60
152798
14,76
9,94
1,00
87883,1
4,94
1994:03:00
7,38
141576
4,95
21007
42195
4,63
162900
14,71
11,99
1,08
89437,2
4,95
1994:04:00
9,24
152738
4,96
22156
45374
4,66
174512
14,9
12,4
1,09
90991,3
4,96
1995:01:00
3,04
157206
4,97
23167
44908
4,65
181701
15,27
14,15
1,15
93215,1
4,97
1995:02:00
2,34
167254
4,97
23059
47045
4,67
192126
15,79
14,74
1,17
94037,1
4,97
1995:03:00
1,41
178244
4,99
23550
48981
4,69
206079
16,08
14,02
1,15
97390,1
4,99
1995:04:00
1,85
188876
4,98
26513
52677
4,72
222638
16,12
13,99
1,15
95681
4,98
1996:01:00
3,26
193951
4,98
31051
53162
4,73
232493
16,39
13,99
1,15
95179,2
4,98
1996:02:00
0,77
209450
4,98
30799
56448
4,75
249443
16,4
13,99
1,15
94871,6
4,98
1996:03:00
0,91
220550
4,98
31360
59684
4,78
259926
16,52
13,93
1,14
94564
4,98
1996:04:00
1,53
234490
4,97
34405
64089
4,81
288632
16,36
12,5
1,10
94256,5
4,97
1997:01:00
1,96
244960
4,99
38545
63565
4,80
294581
16,37
11,07
1,04
97449,8
4,99
1997:02:00
2,54
262670
4,99
46126
69950,04
4,84
312839
16,19
10,63
1,03
98612,6
4,99
1997:03:00
5,37
274710
5,00
47642
66258
4,82
329074
20,34
14,58
1,16
99725,4
5,00
1997:04:00
11,05
261534
5,00
51408
78342,86
4,89
355642,9
17,34
17,38
1,24
100838,2
5,00
1998:01:00
25,13
286925
4,98
63615
98270,29
4,99
449824,3
20,16
45
1,65
95968,7
4,98
1998:02:00
46,55
288760
4,98
77729
109479,8
5,04
565784,8
22,7
58
1,76
94718,7
4,98
1998:03:00
75,47
297634
4,97
79286
102563
5,01
550404
24,88
64,74
1,81
93468,7
4,97
1998:04:00
77,63
313118
4,97
83388
101197,3
5,01
577381,3
23,16
35,52
1,55
93118
4,97
1999:01:00
4,08
231423
4,97
78749
105705,1
5,02
603325,1
26,1
37,42
1,57
94355,7
4,97
1999:02:00
2,73
165340
4,98
77351
105964
5,03
615411
22,75
18,84
1,28
94460,5
4,98
1999:03:00
0,02
156485
4,98
81257
118124
5,07
652289
19,73
13
1,11
95565
4,98
1999:04:00
2,01
140527
4,99
101790
124633
5,10
646205
22,93
11,93
1,08
96670
4,99
2000:01:00
-1,1
130875
4,91
94559
124663
5,10
656451
16,46
10,91
1,04
82057,31
4,91
2000:02:00
2,1
134654
4,85
97098
133832
5,13
684335
16,21
12,33
1,09
70842,89
4,85
2000:03:00
6,8
139763
4,87
125615
135430
5,13
686453
16,62
13,62
1,13
73689,63
4,87
2000:04:00
9,4
152482
4,83
103254
162186
5,21
747028
16,59
14,53
1,16
67215,06
4,83
2001:01:00
10,6
158023
4,84
110604
148375
5,17
766812
16,86
15,58
1,19
68798,96
4,84
2001:02:00
12,11
171984
4,76
115233
160142
5,20
796440
17,04
16,65
1,22
57398,8
4,76
2001:03:00
13,01
187953
4,84
127796
164237
5,22
783104
17,22
17,57
1,24
69469,64
4,84
2001:04:00
12,55
202618
4,80
117724
177731
5,25
844053
17,9
17,62
1,25
62658,63
4,80
2002:01:00
14,08
204639
4,84
117016
169002
5,23
828278
18,03
16,76
1,22
69189,51
4,84
2002:02:00
11,48
224864
4,89
119941
174017
5,24
838635
18,11
15,11
1,18
78225,35
4,89
2002:03:00
10,1
250162
4,90
123869
181791
5,26
859706
18,11
13,22
1,12
78547,58
4,90
2002:04:00
10
271851
4,88
138250
191939
5,28
883908
17,82
12,93
1,11
76448,26
4,88
2003:01:00
7,1
280774
4,90
125210
181239
5,26
877776
17,85
11,4
1,06
79395,48
4,90
2003:02:00
6,6
299664
4,94
132396
194878
5,29
894213
17,43
9,53
0,98
86748,13
4,94
2003:03:00
6,2
318819
4,94
136471
207587
5,32
911224
16,53
8,66
0,94
87947
4,94
2003:04:00
5,1
342026
4,93
166393
223799
5,35
955692
15,68
8,31
0,92
84558,23
4,93
2004:01:00
5,1
347357
4,93
142816
219086
5,34
935247
15,12
7,42
0,87
85469,17
4,93
2004:02:00
6,8
376034
4,90
182130
233726
5,37
975166
14,64
7,34
0,87
79738,56
4,90
2004:03:00
6,3
404173
4,93
190386
240911
5,38
986806
14,33
7,39
0,87
84369,57
4,93
2004:04:00
6,4
438880
4,91
206180
253818
5,40
1033527
14,05
7,43
0,87
82030,35
4,91
2005:01:00
8,8
457619
4,91
191381
250492
5,40
1020693
13,78
7,44
0,87
82112,5
4,91
2005:02:00
7,8
498510
4,91
205279
267635
5,43
1073746
13,65
8,25
0,92
81852,01
4,91
2005:03:00
9,1
543227
4,90
240876
273954
5,44
1150451
14,47
10
1,00
79301,83
4,90
2005:04:00
17,1
566444
4,91
269971
281905
5,45
1203215
15,66
12,75
1,11
81423,12
4,91
2006:01:00
17,9
568631
4,95
245867
277293
5,44
1195067
15,9
12,73
1,10
90050,54
4,95
2006:02:00
15,5
587283
4,95
269529
313153
5,50
1253757
15,94
12,5
1,10
89723,88
4,95
2006:03:00
9,1
610502
4,97
282547
333905
5,52
1291396
15,66
11,25
1,05
93725,59
4,97
2006:04:00
6,3
639152
4,97
346492
361073
5,52
1382074
15,1
9,75
0,99
94152,47
4,97
Lampiran 2

1.Penawaran Uang Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter
A. Estimasi
LOG(M1) = -0.622 + 0.0536LOG(Y) + 0.025LOG(RSBI) + 1.00026LOG(M1(-1)) - 0.001*INF
Dependent Variable: LOG(M1)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:39
Sample(adjusted): 1990:2 2006:4
Included observations: 67 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.622015
0.351001
-1.772116
0.0813
LOG(Y)
0.053641
0.030615
1.752134
0.0847
LOG(RSBI)
0.025029
0.021943
1.140613
0.2584
LOG(M1(-1))
1.000255
0.009465
105.6814
0.0000
INF
-0.001029
0.000707
-1.456558
0.1503
R-squared
0.996238
Mean dependent var
11.38588
Adjusted R-squared
0.995995
S.D. dependent var
0.858379
S.E. of regression
0.054321
Akaike info criterion
-2.916117
Sum squared resid
0.182948
Schwarz criterion
-2.751587
Log likelihood
102.6899
F-statistic
4104.591
Durbin-Watson stat
2.509338
Prob(F-statistic)
0.000000
B.Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
3.146213
Probability
0.005029
Obs*R-squared
20.27625
Probability
0.009340





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:42
Sample: 1990:2 2006:4
Included observations: 67
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.385591
1.169873
0.329600
0.7429
LOG(Y)
-0.140768
0.217234
-0.648000
0.5195
(LOG(Y))^2
0.006246
0.009739
0.641373
0.5238
LOG(RSBI)
-0.001917
0.012342
-0.155290
0.8771
(LOG(RSBI))^2
0.000779
0.002139
0.364338
0.7169
LOG(M1(-1))
0.071755
0.033543
2.139212
0.0366
(LOG(M1(-1)))^2
-0.003144
0.001480
-2.124382
0.0379
INF
0.000412
0.000174
2.367059
0.0213
INF^2
-6.02E-06
2.05E-06
-2.934295
0.0048
R-squared
0.302631
Mean dependent var
0.002731
Adjusted R-squared
0.206442
S.D. dependent var
0.004907
S.E. of regression
0.004371
Akaike info criterion
-7.903086
Sum squared resid
0.001108
Schwarz criterion
-7.606933
Log likelihood
273.7534
F-statistic
3.146213
Durbin-Watson stat
1.876569
Prob(F-statistic)
0.005029

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
2.314175
Probability
0.107608
Obs*R-squared
4.798195
Probability
0.090800





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:42
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.039346
0.352868
-0.111503
0.9116
LOG(Y)
0.001106
0.030426
0.036349
0.9711
LOG(RSBI)
0.005187
0.022164
0.234011
0.8158
LOG(M1(-1))
0.001082
0.009328
0.116000
0.9080
INF
8.52E-05
0.000784
0.108665
0.9138
RESID(-1)
-0.280874
0.135580
-2.071641
0.0426
RESID(-2)
-0.024629
0.149956
-0.164244
0.8701
R-squared
0.071615
Mean dependent var
2.63E-16
Adjusted R-squared
-0.021224
S.D. dependent var
0.052649
S.E. of regression
0.053205
Akaike info criterion
-2.930724
Sum squared resid
0.169846
Schwarz criterion
-2.700383
Log likelihood
105.1792
F-statistic
0.771392
Durbin-Watson stat
1.979754
Prob(F-statistic)
0.595427
Normalitas



2.Kredit
A.Estimasi
LOG(L) = 2.657 - 0.0775LOG(Y) - 0.007LOG(RSBI) + 0.959LOG(L(-1)) + 0.00312INF – 0.443*LOG(RKI)
Dependent Variable: LOG(L)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:27
Sample(adjusted): 1990:2 2006:4
Included observations: 67 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
2.657284
0.486782
5.458882
0.0000
LOG(Y)
-0.077519
0.042980
-1.803618
0.0762
LOG(RSBI)
-0.007029
0.036183
-0.194265
0.8466
LOG(L(-1))
0.959281
0.018209
52.68102
0.0000
INF
0.003123
0.000843
3.703551
0.0005
LOG(RKI)
-0.442662
0.095408
-4.639689
0.0000
R-squared
0.990402
Mean dependent var
12.17684
Adjusted R-squared
0.989615
S.D. dependent var
0.632395
S.E. of regression
0.064444
Akaike info criterion
-2.560749
Sum squared resid
0.253336
Schwarz criterion
-2.363314
Log likelihood
91.78509
F-statistic
1258.913
Durbin-Watson stat
1.713945
Prob(F-statistic)
0.000000

B.Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.496707
Probability
0.165054
Obs*R-squared
14.13041
Probability
0.167126





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:31
Sample: 1990:2 2006:4
Included observations: 67
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-2.325418
2.641404
-0.880372
0.3824
LOG(Y)
0.579050
0.489374
1.183247
0.2417
(LOG(Y))^2
-0.024889
0.021944
-1.134214
0.2615
LOG(RSBI)
-0.003929
0.031712
-0.123883
0.9019
(LOG(RSBI))^2
-0.000153
0.005589
-0.027430
0.9782
LOG(L(-1))
-0.175463
0.096574
-1.816875
0.0746
(LOG(L(-1)))^2
0.006930
0.003935
1.760977
0.0837
INF
0.000272
0.000428
0.636467
0.5271
INF^2
-4.84E-06
5.00E-06
-0.967951
0.3372
LOG(RKI)
0.023320
0.381477
0.061131
0.9515
(LOG(RKI))^2
0.001943
0.065488
0.029670
0.9764
R-squared
0.210902
Mean dependent var
0.003781
Adjusted R-squared
0.069991
S.D. dependent var
0.009929
S.E. of regression
0.009575
Akaike info criterion
-6.310204
Sum squared resid
0.005135
Schwarz criterion
-5.948240
Log likelihood
222.3918
F-statistic
1.496707
Durbin-Watson stat
2.376680
Prob(F-statistic)
0.165054

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
0.962104
Probability
0.388001
Obs*R-squared
2.116103
Probability
0.347132





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:33
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.021555
0.488483
-0.044127
0.9650
LOG(Y)
0.004954
0.043171
0.114761
0.9090
LOG(RSBI)
0.000790
0.036291
0.021766
0.9827
LOG(L(-1))
-0.002557
0.018314
-0.139639
0.8894
INF
-0.000142
0.000851
-0.167370
0.8677
LOG(RKI)
-0.001363
0.095888
-0.014218
0.9887
RESID(-1)
0.131082
0.130477
1.004637
0.3192
RESID(-2)
0.109234
0.132491
0.824458
0.4130
R-squared
0.031584
Mean dependent var
1.89E-15
Adjusted R-squared
-0.083313
S.D. dependent var
0.061955
S.E. of regression
0.064484
Akaike info criterion
-2.533141
Sum squared resid
0.245335
Schwarz criterion
-2.269894
Log likelihood
92.86021
F-statistic
0.274887
Durbin-Watson stat
2.030417
Prob(F-statistic)
0.961345

Normalitas

Lampiran 3
3.Penawaran Uang Sebelum Krisis Moneter
C. Estimasi
LOG(M1) = 0.208 + 0.028LOG(Y) - 0.05LOG(RSBI) + 0.966LOG(M1(-1)) - 7.8.10-5 INF

Dependent Variable: LOG(M1)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:48
Sample(adjusted): 1990:2 1997:3
Included observations: 30 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.208171
0.452168
0.460385
0.6492
LOG(Y)
0.028479
0.062900
0.452772
0.6546
LOG(RSBI)
-0.052217
0.044256
-1.179893
0.2491
LOG(M1(-1))
0.966353
0.046527
20.76956
0.0000
INF
-7.83E-05
0.002600
-0.030111
0.9762
R-squared
0.992536
Mean dependent var
10.53686
Adjusted R-squared
0.991342
S.D. dependent var
0.366479
S.E. of regression
0.034101
Akaike info criterion
-3.767953
Sum squared resid
0.029072
Schwarz criterion
-3.534420
Log likelihood
61.51929
F-statistic
831.0778
Durbin-Watson stat
2.637962
Prob(F-statistic)
0.000000

D. Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
4.330991
Probability
0.003298
Obs*R-squared
18.67882
Probability



0.016675





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:51
Sample: 1990:2 1997:3
Included observations: 30
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
1.136820
0.809775
1.403872
0.1750
LOG(Y)
0.014921
0.078760
0.189450
0.8516
(LOG(Y))^2
-0.000471
0.003685
-0.127687
0.8996
LOG(RSBI)
-0.006495
0.013846
-0.469087
0.6438
(LOG(RSBI))^2
0.001299
0.002661
0.488167
0.6305
LOG(M1(-1))
-0.233282
0.100273
-2.326477
0.0301
(LOG(M1(-1)))^2
0.010989
0.004604
2.386652
0.0265
INF
0.000368
0.000272
1.352061
0.1907
INF^2
-3.44E-05
2.60E-05
-1.324553
0.1996
R-squared
0.622627
Mean dependent var
0.000969
Adjusted R-squared
0.478866
S.D. dependent var
0.001185
S.E. of regression
0.000856
Akaike info criterion
-11.04625
Sum squared resid
1.54E-05
Schwarz criterion
-10.62589
Log likelihood
174.6937
F-statistic
4.330991
Durbin-Watson stat
1.861474
Prob(F-statistic)
0.003298

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.587206
Probability
0.202792
Obs*R-squared
15.42371
Probability
0.117361





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:53
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.294393
0.516681
-0.569778
0.5773
LOG(Y)
-0.106565
0.084518
-1.260855
0.2266
LOG(RSBI)
0.030142
0.050473
0.597184
0.5593
LOG(M1(-1))
0.132903
0.079144
1.679249
0.1138
INF
0.004141
0.003370
1.228679
0.2381
RESID(-1)
-0.969473
0.374417
-2.589285
0.0205
RESID(-2)
-0.089706
0.425339
-0.210905
0.8358
RESID(-3)
-0.528170
0.440762
-1.198310
0.2494
RESID(-4)
-0.303036
0.394253
-0.768632
0.4540
RESID(-5)
-0.272173
0.389879
-0.698095
0.4958
RESID(-6)
-0.505177
0.359511
-1.405177
0.1803
RESID(-7)
-0.214717
0.370673
-0.579262
0.5710
RESID(-8)
0.292158
0.387226
0.754490
0.4622
RESID(-9)
-0.044414
0.432261
-0.102749
0.9195
RESID(-10)
-0.036580
0.420842
-0.086921
0.9319
R-squared
0.514124
Mean dependent var
3.08E-15
Adjusted R-squared
0.060639
S.D. dependent var
0.031662
S.E. of regression
0.030687
Akaike info criterion
-3.823087
Sum squared resid
0.014126
Schwarz criterion
-3.122489
Log likelihood
72.34631
F-statistic
1.133719
Durbin-Watson stat
1.744890
Prob(F-statistic)
0.404809

Normalitas

4.Kredit Sebelum Krisis Moneter
A. Estimasi
LOG(L) = 0.42 + 0.0175LOG(Y) - 0.04LOG(RSBI) + 0.97LOG(L(-1)) + 0.001INF - 0.05LOG(RKI)
Dependent Variable: LOG(L)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:54
Sample(adjusted): 1990:2 1997:3
Included observations: 30 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.421449
1.290564
0.326562
0.7468
LOG(Y)
0.017512
0.134536
0.130167
0.8975
LOG(RSBI)
-0.040699
0.092564
-0.439684
0.6641
LOG(L(-1))
0.972609
0.071552
13.59307
0.0000
INF
0.001376
0.005111
0.269262
0.7900
LOG(RKI)
-0.050245
0.191286
-0.262670
0.7950
R-squared
0.984309
Mean dependent var
11.72125
Adjusted R-squared
0.981041
S.D. dependent var
0.478304
S.E. of regression
0.065859
Akaike info criterion
-2.425735
Sum squared resid
0.104099
Schwarz criterion
-2.145496
Log likelihood
42.38603
F-statistic
301.1157
Durbin-Watson stat
2.220547
Prob(F-statistic)
0.000000

B. Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
2.198527
Probability
0.066941
Obs*R-squared
16.09257
Probability
0.097013





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:57
Sample: 1990:2 1997:3
Included observations: 30
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
12.01282
5.858370
2.050540
0.0544
LOG(Y)
-0.022105
1.008082
-0.021928
0.9827
(LOG(Y))^2
0.006472
0.045831
0.141205
0.8892
LOG(RSBI)
-0.010094
0.184579
-0.054689
0.9570
(LOG(RSBI))^2
0.004770
0.037245
0.128066
0.8994
LOG(L(-1))
-1.892853
0.757342
-2.499338
0.0218
(LOG(L(-1)))^2
0.077533
0.031735
2.443121
0.0245
INF
-0.001749
0.003543
-0.493621
0.6272
INF^2
0.000106
0.000332
0.320621
0.7520
LOG(RKI)
-0.733049
1.183644
-0.619315
0.5431
(LOG(RKI))^2
0.126151
0.203002
0.621429
0.5417
R-squared
0.536419
Mean dependent var
0.003470
Adjusted R-squared
0.292429
S.D. dependent var
0.011575
S.E. of regression
0.009737
Akaike info criterion
-6.149270
Sum squared resid
0.001801
Schwarz criterion
-5.635498
Log likelihood
103.2391
F-statistic
2.198527
Durbin-Watson stat
2.518153
Prob(F-statistic)
0.066941

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
0.377760
Probability
0.689756
Obs*R-squared
0.996047
Probability
0.607731





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 13:57
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.263310
1.359712
0.193652
0.8482
LOG(Y)
-0.052332
0.151310
-0.345857
0.7327
LOG(RSBI)
-0.028900
0.100775
-0.286776
0.7770
LOG(L(-1))
0.030607
0.082066
0.372957
0.7127
INF
0.000298
0.005317
0.056083
0.9558
LOG(RKI)
0.014012
0.197266
0.071032
0.9440
RESID(-1)
-0.189670
0.232641
-0.815290
0.4236
RESID(-2)
-0.115119
0.228973
-0.502760
0.6201
R-squared
0.033202
Mean dependent var
3.17E-15
Adjusted R-squared
-0.274416
S.D. dependent var
0.059913
S.E. of regression
0.067636
Akaike info criterion
-2.326167
Sum squared resid
0.100643
Schwarz criterion
-1.952515
Log likelihood
42.89251
F-statistic
0.107931
Durbin-Watson stat
1.985597
Prob(F-statistic)
0.997187

Normalitas

Lampiran 4

5.Penawaran Uang Sesudah Krisis Moneter
E. Estimasi
LOG(M1) = -0.547+ 0.09LOG(Y) + 0.019LOG(RSBI) + 0.96LOG(M1(-1)) - 0.001 INF
Dependent Variable: LOG(M1)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:10
Sample: 1997:4 2006:4
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.546553
1.130411
-0.483500
0.6320
LOG(Y)
0.090006
0.082554
1.090270
0.2837
LOG(RSBI)
0.019081
0.039311
0.485380
0.6307
LOG(M1(-1))
0.961989
0.039851
24.13951
0.0000
INF
-0.001471
0.000979
-1.503016
0.1426
R-squared
0.976242
Mean dependent var
12.07428
Adjusted R-squared
0.973272
S.D. dependent var
0.393551
S.E. of regression
0.064340
Akaike info criterion
-2.524174
Sum squared resid
0.132469
Schwarz criterion
-2.306482
Log likelihood
51.69721
F-statistic
328.7282
Durbin-Watson stat
2.346141
Prob(F-statistic)
0.000000
F.Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.083039
Probability
0.403075
Obs*R-squared
8.743639
Probability
0.364382





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:13
Sample: 1997:4 2006:4
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-3.387020
6.242054
-0.542613
0.5917
LOG(Y)
0.774894
1.189368
0.651518
0.5200
(LOG(Y))^2
-0.034872
0.052930
-0.658833
0.5154
LOG(RSBI)
0.001135
0.015991
0.070976
0.9439
(LOG(RSBI))^2
0.000561
0.002712
0.206816
0.8377
LOG(M1(-1))
-0.151124
0.191118
-0.790735
0.4357
(LOG(M1(-1)))^2
0.006208
0.007965
0.779486
0.4422
INF
1.80E-06
0.000292
0.006153
0.9951
INF^2
-1.21E-06
3.29E-06
-0.367638
0.7159
R-squared
0.236315
Mean dependent var
0.003580
Adjusted R-squared
0.018119
S.D. dependent var
0.005002
S.E. of regression
0.004956
Akaike info criterion
-7.568474
Sum squared resid
0.000688
Schwarz criterion
-7.176629
Log likelihood
149.0168
F-statistic
1.083039
Durbin-Watson stat
1.960382
Prob(F-statistic)
0.403075

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.231941
Probability
0.306064
Obs*R-squared
2.808156
Probability
0.245593





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:13
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.444875
1.189080
-0.374134
0.7109
LOG(Y)
0.028452
0.083951
0.338905
0.7370
LOG(RSBI)
0.012732
0.042279
0.301137
0.7654
LOG(M1(-1))
0.008030
0.044816
0.179170
0.8590
INF
-0.000539
0.001051
-0.513165
0.6116
RESID(-1)
-0.165594
0.213251
-0.776525
0.4435
RESID(-2)
0.217298
0.226014
0.961433
0.3440
R-squared
0.075896
Mean dependent var
-1.97E-15
Adjusted R-squared
-0.108925
S.D. dependent var
0.060661
S.E. of regression
0.063879
Akaike info criterion
-2.494996
Sum squared resid
0.122416
Schwarz criterion
-2.190228
Log likelihood
53.15743
F-statistic
0.410647
Durbin-Watson stat
1.934398
Prob(F-statistic)
0.866059

Normalitas







6.Kredit Sesudah Krisis Moneter
C. Estimasi
LOG(L) = 3.399 - 0.123LOG(Y) + 0.001*LOG(RSBI) + 0.958LOG(L(-1)) + 0.004INF - 0.526LOG(RKI)

Dependent Variable: LOG(L)
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:01
Sample: 1997:4 2006:4
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
3.398507
0.907705
3.744064
0.0007
LOG(Y)
-0.123226
0.113859
-1.082263
0.2875
LOG(RSBI)
0.001396
0.042544
0.032821
0.9740
LOG(L(-1))
0.957559
0.034536
27.72665
0.0000
INF
0.003680
0.000925
3.980110
0.0004
LOG(RKI)
-0.526099
0.141645
-3.714221
0.0008
R-squared
0.986651
Mean dependent var
12.54623
Adjusted R-squared
0.984497
S.D. dependent var
0.485486
S.E. of regression
0.060447
Akaike info criterion
-2.626692
Sum squared resid
0.113271
Schwarz criterion
-2.365462
Log likelihood
54.59381
F-statistic
458.2403
Durbin-Watson stat
1.393350
Prob(F-statistic)
0.000000


D. Uji Asumsi Klasik
Heterokedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.457915
Probability
0.211139
Obs*R-squared
13.29324
Probability
0.207735





Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:09
Sample: 1997:4 2006:4
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-7.475728
6.059747
-1.233670
0.2284
LOG(Y)
1.063382
1.073431
0.990638
0.3310
(LOG(Y))^2
-0.046645
0.047638
-0.979155
0.3365
LOG(RSBI)
0.028965
0.025262
1.146557
0.2620
(LOG(RSBI))^2
-0.003903
0.004128
-0.945303
0.3532
LOG(L(-1))
0.204201
0.136289
1.498290
0.1461
(LOG(L(-1)))^2
-0.008143
0.005442
-1.496423
0.1466
INF
-0.000365
0.000425
-0.857883
0.3988
INF^2
2.65E-06
4.68E-06
0.567235
0.5754
LOG(RKI)
0.068868
0.298921
0.230390
0.8196
(LOG(RKI))^2
-0.012259
0.050722
-0.241697
0.8109
R-squared
0.359277
Mean dependent var
0.003061
Adjusted R-squared
0.112845
S.D. dependent var
0.005415
S.E. of regression
0.005100
Akaike info criterion
-7.477210
Sum squared resid
0.000676
Schwarz criterion
-6.998288
Log likelihood
149.3284
F-statistic
1.457915
Durbin-Watson stat
2.900919
Prob(F-statistic)
0.211139

Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.479231
Probability
0.244498
Obs*R-squared
3.425168
Probability
0.180399





Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 02/13/08 Time: 14:09
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.075724
0.901090
-0.084036
0.9336
LOG(Y)
0.023233
0.113299
0.205056
0.8390
LOG(RSBI)
0.012634
0.042678
0.296022
0.7693
LOG(L(-1))
-0.007703
0.034322
-0.224440
0.8240
INF
-0.000253
0.000952
-0.265413
0.7926
LOG(RKI)
-0.042239
0.141694
-0.298104
0.7677
RESID(-1)
0.317331
0.189439
1.675110
0.1047
RESID(-2)
-0.007605
0.195030
-0.038994
0.9692
R-squared
0.092572
Mean dependent var
-3.59E-16
Adjusted R-squared
-0.126462
S.D. dependent var
0.056093
S.E. of regression
0.059534
Akaike info criterion
-2.615725
Sum squared resid
0.102785
Schwarz criterion
-2.267419
Log likelihood
56.39092
F-statistic
0.422637
Durbin-Watson stat
1.999884
Prob(F-statistic)
0.880133












Normalitas

Lampiran 5

Variance Residuals M1 dan L
Sebelum dan Sesudah Krisis
Periode

M1(Ms)
L
1990.1-2006.4
(selum dan Sesudah)
R2 residual
0,182948
0,253336
SEE
0,054321
0,064444
Variance Residual
0,009938
0,016326
1990.1-1997.3
(Sebelum)
R2 residual
0,029072
0,104099
SEE
0,034101
0,065859
Variance Residual
0,000991
0,006856
1997.4-2006.4
(sesudah)
R2 residual
0,132469
0,113271
SEE
0,06434
0,060447
Variance Residual
0,008523
0,006847




Lampiran 6

Variance


Simpangan Baku (ó)


Koefisien Varian (KV)

Keterangan :
Xk = Variabel X
= rata-rata X
n = jumlah data observasi

Kovarian

Xi = variable X
Yi = variable Y
N = Besarnya sampel data
Cov (X,Y) = kovarian x dan Y

Korelasi

ñX,Y = korelasi X dan Y
= simpangan baku X
= simpangan baku Y